Selasa, 29 November 2011

Sengketa Tapal Batas




TAPAL BATAS
RIANGKOTEK - LEWORAHANG
KRONOLOGIS MASALAH
Dalam Tahun dan Peristiwa









PERIODE TAHUN 1983

Awal mula konflik
Sekitar bulan Desember masyarakat Desa Leworahang membuka lahan kontak tani di lokasi newa KLOMO daerah Ewok Ono. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan garapan Petrus Suban Ritan (masyarakat Riangkotek) pada  musim  tanam 1982/1983. Dengan demikian, lokasi kontak tani ini merupakan keleda.
Petrus Suban Ritan tidak menerima kalau lokasi ini dijadikan lahan kontak tani, maka dia membuat gera[1]. Artinya, Petrus Suban Ritan tidak mau/melarang kalau lokasi tersebut dijadikan lahan kontak tani. Lokasi ini adalah newa KLOMO milik suku Ritan yang dikerjakannya tahun lalu.  Terjadi perbedaan pendapat  antara Petrus Suban Ritan dengan Kelompok Tani tentang status kepemilikan lokasi.



PERIODE TAHUN 1984
Tetap berbeda, menuju sumpah adat
Masalah dibawa ke tingkat desa. Boki Koten, waktu itu sebagai Kepala Desa Leworahang menyurati Kepala Desa Bantala[2]  untuk membicarakan batas wilayah. Alasannya  bahwa newa ada di atas tanah.
Tanggal 18 Januari 1984 difasilitasi oleh kedua pemerintah desa diadakan pertemuan tentang batas wilayah bertempat di lokasi Kajo Koja. Rapat bersama ini melibatkan seluruh elemen desa.
Menurut Leworahang seperti yang dituturkan oleh Bapak Igo Koten batas wilayah adat sampai di Kajo Koja, tanpa menyinggung dari arah gunung, sementara dari Riangkotek  oleh Bapak Rape Koten bahwa berdasarkan kesepakatan Kuda Horok dan Haju Lino yaitu dari Wai Mape menyusuri kali sampai ke pantai  (tepatnya di Puho Lewutu).
Masih terdapat perbedaan pendapat, dan tetap bertahan dengan batas menurut versi masing-masing. Jalan keluar, disepakati dibuat sumpah adat dengan tetap mempertahankan batas; Riangkotek di Lungu Bele dan Leworahang di Kajo Koja.



Sumpah Adat
Dua hari setelah pertemuan di Kajo Koja, dan sesuai dengan kesepakatan maka dibuat sumpah adat. Sumpah adat dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 1984. Sumpah adat dibuat dengan cara pehe lima dan potong hewan, yaitu:
1.        Pehe lima
Pehe lima dilaksanakan di tempat antara Kajo Koja dan Lungu Bele. Masing-masing mengutus 2 utusan. Dari Riangkotek Rape Koten dan Yohanes Pati Ritan. Sementara dari Leworahang Igo Koten dan Gaja Kelen.
Rape Koten pehe lima dengan Igo Koten, dan Yohanes Pati Ritan dengan Gaja Kelen.
Isi sumpah diucapkan oleh Boki Koten, waktu itu sebagai Kepala Desa Leworahang.
Isi sumpah:
MIO ATA PAT PI JANGKA WAKTU WULA TELO, DI ANTARA MIO PAT PI HEGE YANG ELE, KOTO MATA BERARA, TOU NAI HERU.
Ketika sedang berlangsung sumpah Rau Maran (warga Leworahang) mengatakan,  “wulan telo lela”. Langsung disambut oleh Dowe Ritan, “ka.....pali.…”! (sambil menyentakkan kaki).
Melihat situasi yang cukup gawat, orangtua Krobi Hurit  tampil dan berbicara, “Goe sebagai lewo kaka, nara eba, situasi pali hero tergantung kaka bapa  noo rera wula, belo eka  kaha nawa, heti eka kahe lali eka kahe.


2.     Serimoni adat-potong kambing
Usai pelaksanaan pehe lima dilanjutkan dengan upacara potong hewan. Leworahang melaksanakan di Kajo Koja, dan Riangkotek di Lungo Bele.
Sebagai raja tua, Bapak Krobi juga huke karena diyakini tanah Nara Eba sampai di lungu bele.
Setelah huke, kepala dan badan kambing dipikul menuju kampung Riangkotek dan di hantar sampai di Korke.
Sejak saat itu terjadi pemutusan hubungan antara Riangkotek dan Leworahang dan seterusnya tidak tegur sapa.



PERIODE TAHUN 1989

Berawal dari benu’ lako di Kajo Koja

Musim tanam 1989/1990 masyarakat Riangkotek membuka eta kedanga ono. Dalam suatu kesempatan di Bulan September 1989, Ande Sina Koten, Pade, Paulus Pati Koten  benu lako di Kajo Koja. Perbuatan beno lako di kajo koja ini mengakibatkan kajo koja terbakar dan tumbang.
Benu lako yang berakibat pada terbakarnya Kajo Koja menurut masyarakat Leworahang seperti yang dituturkan  Igo kepada Yahanes Pati Ritan, adalah perbuatan yang disengaja masyarakat Riangkotek untuk menghilangkan jejak.
Masyarakat Leworahang tidak menerimanya, maka secara sepihak memancang papan pal batas di Wato Wau. Karena secara sepihak memancang pal batas, maka atas perintah Yohanes Pati Ritan,  masyarakat Riangkotek mencabut papan pal batas[3]
Selain memancang pal batas, juga muncul isu  yang mengancam bahwa ketika masyarakat Riangkotek seru eta pada tanggal 5 Oktober, masyarakat Leworahang akan gedek/kepung karena lau tahik dan rae ape, pelae mala ga.
Beberapa hari menjelang seru eta, Yohanes Pati Ritan[4] mendatangi Kepala Desa Bantala, menceriterakan situasi terakhir dan meminta perlindungan keamanan dari pihak kecamatan pada saat seru eta. Kepala Desa Bantala menyurati Camat Tanjung Bunga di Waiklibang, perihal meminta jaminan keamanan pada saat masyarakat Riangkotek pada saat seru eta di kedanga ono.
Peristiwa 5 Oktober
Sebelum ke Leworahang Kepala Desa dan Kaur Pembangunan (Paulus Pati Koten) singgah di Riangkotek di rumah Yohanes Pati Ritan memberitahukan bahwa mereka akan ke Leworahang dan pihak kecamatan memberi jaminan keamanan dengan mengutus Babinsa dan seorang Pol PP yang bernama  Anton Ratu Maran. Selanjutnya Kepala Desa dan Kaur Pembangunan melanjutkan perjalanan ke Leworahang  bertemu Kepala Desa, meminta jaminan keamanan ketika pelaksanaan  seru eta.
          Sekitar pukul 09.00 ketika Yohanes Pati Ritan tiba di ewok ono, Babinsa dan Pop PP sudah berada di situ. Dalam pembicaraan dengan  Yohanes Pati Ritan Babinsa mengarahkan supaya pihak Riangkotek tidak perlu bereaksi dulu sebelum ada aksi dari pihak Leworahang.
Sementara itu  Kepala Desa Bantala bersama Kaur Pembangunan masih berada di Leworahang. Hasil pembicaraan Kepala Desa Bantala dan Kepala Desa Leworahang bahwa pihak Leworahang akan mengirim utusan untuk menunjukkan  batas wilayah sebelum  pelaksanaan seru eta di lokasi tersebut.  
Dalam perjalanan pulang ke lokasi mereka melihat masyarakat Leworahang berjalan menuju lokasi seru eta di lungu bele, lengkap dengan busur anak panah. Tiba di lokasi Kepala Desa berkumpul bersama masyarakat Riangkotek. Bersama-sama menunggu utusan dari Leworahang.
Tidak lama kemudian datang Wolo Duga[5] dengan beberapa orang Leworahang.  Ketika melihat Wolo Duga, Yohanes Pati Ritan marah, “Wolo,…..moe pi yang noni batas? Kame nia lamakemau, bukan moe.  Tite ruat belo wekit nanti Leworahang yang geka, sebaiknya moe gewalik teka mae”. Beberapa orang dari suku Ritan yang berada di lokasi pada waktu itu seperti Molik Ritan, Dowe Ritan, Suban Laba, Nadus Bera juga menyuruh Wolo Duga sebaiknya pulang. Wolo Duga pulang dan tidak jadi menunjuk batas.  Waktu itu sekitar pukul 11.00 siang.
Mengingat pembawa api sudah dekat dengan lokasi, maka inisiatif   Yohanes Pati Ritan atas arahan dari Babinsa untuk hae nae  sepanjang  lokasi yang akan dilalui pembawa api sehingga api tidak nanar.[6] Hadir pada waktu itu selain pihak keamanan dari kecamatan, juga hansip dari dua desa, diantaranya Nabas Koten, hansip Leworahang.




PERIODE TAHUN 1996 - 1997

Menuju Perdamain
Sejak pemutusan hubungan dengan diadakan Sumpah Adat tahun 1984, sampai dengan tahun 1996 praktis tidak terjadi tegur sapa antara warga kedua desa.  Dalam situasi masyarakat yang demikian,  berbeda dengan Igo Koten.
Igo Koten tegur sapa seperi biasa. Menurut penuturan Yohanes Pati Ritan, mereka beberapa kali minum tuak  bersama di Paeba. Begitu juga seperti yang dituturkan  Yohanes Suban Koten[7], bahwa orangtua  Igo beberapa kali  singgah di rumah, Dalam suatu kesempatan pada tanggal 4 Oktober 1992, Bapak Igo meminta Pater Yeremias Purin Koten[8] untuk misa perdana di Leworahang. Mengingat situasi yang belum kondusif, maka bapak Rape menolak.
Bahkan bapak Igo pernah bermalam  di rumah Petrus Semai Aran[9]. Pada intinya dalam setiap percakapan itu, bapak Igo berkeinginan mengusahakan perdamaian antara dua desa ini.
Di bulan  14 Agustus 1996, Bapak Igo Koten dan Yohanes Soge Koten[10] mendatangi rumah kepala Desa Riangkotek, Yohanes Suban Aran.[11] Dalam pertemuan itu, seperti yang dituturkan Kepala Desa Riangkotek bahwa akan dibuat papan pal batas. Mengingat situasi yang masih kurang kondusif  antar dua desa perihal tapal batas maka Kepala Desa mengajak Bapak Igo dan Yohanes Soge Koten ke rumah orangtua adat; Bapak Rape Koten.
Di rumah Bapak Rape Koten sudah hadir Yohanes Suban Koten. Bapak Igo Koten dan Yohanes Soge Koten menyampaikan maksud  kedatangan mereka yakni pemasangan pilar batas dan perdamaian antar dua desa.  
Kehadiran Bapak Igo Koten di rumah Bapak Rape Koten menunjukkan pembuktian sumpah pada tanggal 20 Januari 1984, yang berbunyi “MIO ATA PAT PI JANGKA WAKTU WULA TELO, DI ANTARA MIO PAT PI HEGE YANG ELE, KOTO MATA BERARA, TOU NAI HERU”

Perdamaian Adat
Disepakati bahwa sebelum diadakan pemasangan pal batas didahului dengan upacara perdamaian. Kunjungan pertama dari Leworahang pada hari Minggu, 31 Agustus 1997dengan membawa sebatang gading.
Minggu, 7 September 1989 masyarakat Riangkotek mengujungi Leworahang. Dalam kesempatan kunjungan itu, hadir pula Pater Petrus Nong Lewar, SVD waktu itu sebagai pastor paroki Belogili - Leworahang. Masih tersimpan rekaman berupa pita suara acara sambutan dalam kunjungan ini.

 

Pemasangan Pilar Batas
Peristiwa tsunami tahun tahun 1992, mengakibatkan sebagian ruas jalan lama tenggelam, sehingga dibuka jalan baru; sebelah atas jalan lama mulai dari wato hoko. dengan demikian pemasangan pal batas juga mengikuti situasi ini.
Disepakati bahwa, pal batas dipasang sebelah timur kali (di lokasi Riangkotek), dengan alasan kalau dipasang sebelah barat (lokasi Leworahang) maka dalam acara serimonial adat Riangkotek tidak bisa huke.

 


Seminggu setelah upacara perdamaian di Leworahang, selanjutnya bersama-sama memasang pal batas administrasi di lungu bele.  Upacara pemasangan pal batas ini didahului dengan upacara peletakan batu pertama oleh orangtua adat; Bapak Rape Koten dan Igo Koten. Hadir dalam kesempatan itu Camat Tanjung Bunga, waktu itu Bapak Petrus Toda Atawolo.

******



PERIODE TAHUN 2010

Kesepakatan pemasangan pilar
Suatu kesempatan dalam pertemuan di Kantoer Camat Lewolema tentang batas adminsitrasi desa di Lewolema, Kepala Desa Riangkotek dan Leworahang bersepakat untuk membuat pilar pembantu di perbatasan.
Disepakati pemasangan pilar pembantu ini mulai dari gunung mengikuti kali sampai di pantai. Pembuatan pilar dikerjakan oleh masyarakat Leworahang, Riangkotek mengirim bahan berupa 2 sak semen. Pemasangan pilar dikerjakan oleh masyarakat dua desa.
Pertemuan lungu bele
Tanggal  8 Juli 2010 terjadi pertemuan di lokasi lungu bele, perihal pemasangan pilar pembantu. Pertemuan ini dipandu oleh Antonius Lae Koten (sekretaris desa Ilepadung). Disampaikan bahwa sudah ada kesepakatan antara kedua pemerintah desa untuk memasang pilar pembantu. Pemasangan pilar pembantu dimaksud agar tidak terjadi pelanggaran batas di kemudian hari seperti yang pernah terjadi bagian atas jalan raya, ada masyarakat Riangkotek yang sudah menanam jati di lokasi Leworahang.  Pilar pembantu ini akan ditanam mulai dari gunung sampai di pantai. Lokasi bagian atas jalan sudah jelas seperti sekarang, yaitu mengikuti kali mati/lungu bele. Bagian bawah jalan perlu kita sepakati dulu.
Leworahang mengusulkan supaya pilar dipasang sepanjang lokasi berdasarkan pego oa (versi Leworahang)  hae nae (versi Riangkotek) pada peristiwa 5 oktober 1989.  Menurut Bapak Ama Koten, sekitar tahun 1952 terjadi luapan banjir/wangak seoar bersamaan dengan lungu tobi.
Bapak Rebon Aran (Ketua BPD Ilepadung), mengatakan bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan lungu seor karena kita di sini mungkin tidak ada yang tahu. Batas wilayah ini, kita ikuti saja peristiwa pego oa 1989 dan dengan menarik garis lurus dari pilar induk ke pantai tepatnya di kaju keledo.
Dari Riangkotek bahwa batas wilayah sudah selesai dibicarakan pada tahun 1997, dengan perdamaian adat dan pemasanga pilar batas di lungu bele. Batas tetap dari wai mape menyusuri kali (lungu bele) sampai ke pantai, tepatnya di poho lewutu.
Terjadi perbedaan titik batas. Ada yang mengusulkan supaya batas berdasarkan lahan garapan masyarakat. Petrus Pati Maran mengusulkan bagi dua bagian antara lungu bele dan kajo keledo dengan titik pusat pilar induk. Leworahang  bersikukuh agar pilar pembantu dipasang pada hari itu, tetapi Riangkotek menolak. Terjadi skors. Hasil skor minta waktu kembali berunding dengan masyarakat (kurang lebih 1 minggu).
Hari Sabtu 10 Juli 2010, masyarakat Riangkotek mengadakan pertemuan desa perihal batas wilayah. Hasil pertemuan dituangkan dalam surat yang ditujukan kepada Kepala Desa Ilepadung.



Pemasangan pilar pembantu
Tanggal  12 April 2010, Kepala Desa Leworahang bersama dengan Ketua BPD  ke rumah kepada Desa Riangkotek. Perihal waktu pemasangan pilar.  Kepala Desa Riangkotek menyarankan agar pemasangan pilar pembantu tunggu ada kesepakatan dulu.
Hari Sabtu 16 Juli 2010, Leworahang memasang pilar pembantu sepanjang lokasi pego oa sampai di pantai.


Sikap Riangkotek
Riangkotek tidak menerima tindakan Leworahang yang memasang pilar pembantu. Tentang titik pamasangan pilar pembantu masih dalam pembicaraan yang belum ada titik temu, tetapi secara sepihak sudah menanam.
Hari Minggu, 17 Juli 2010 bertempat di langbele diadakan pertemuan desa. Hasil pertemuan desa membuat surat pengaduan kepada Pospol Lewolema perihal penyebotan dan Camat Lewolema perihal fasilitasi penyelesaian batas administrasi.



Pertemuan Kantor Camat I
Tanggal 21 Juli 2010 difasilitasi pemerintah Kecamatan Lewolema diadakan pertemuan penyelesaian di Kantor Camat. Pertemuan dihadiri utusan dari kedua desa. Pihak kepolisian Resort Flores Timur juga hadir pada kesempatan itu dengan kekuatan satu unit mobil Dalmas.
Dalam pertemuan ini, masing-masing tetap mempertahankan batas. Setelah mendengar pendapat dari Koramil Kota, Kapospol Lewolema, maka pemerintah kecamatan memutuskan:
1.          Demi keamananan pilar pembantu dicabut oleh pihak kepolisian.
2.          Pemerintah Kecamatan akan membentuk Tim  Independen yang bertugas mencari data-data pendukung penyelesaian.

Peristiwa Agustus
Kebiasaan di Kecamatan Lewolema perayaan Agustusan dirayakan secara bergilir dari desa ke desa. Tahun 2010 giliran dirayakan di Leworahang.
Mengingat situasi yang belum kondusif, Riangkotek menolak untuk ikut dalam kegiatan olahraga. Namun pihak pemerintah kecamatan dan panitia tiga kali mengadakan pendekatan dengan Riangkotek untuk berpartisipasi.  Pemerintah kecamatan dan panitia menjamin keamanan, maka Riangkotek akhirnya ikut dalam kegiatan olahraga.
Hari Minggu, 15 Agustus 2010  final sepak bola antara Riangkotek  vs Leworahang. Riangkotek sekali lagi minta jaminan keamanan kepada panitia dan pemerintah kecamatan. Pantia dan pemerintah kecamatan memberi jaminan akan meminta keamanan tambahan dari Polres Flores Timur.
Pertandingan final dilaksanakan, walaupun tanpa kehadiran Polres Flores Timur. Dalam pertandingan ini terjadi kekacauan yang berawal dari pemukulan penjaga gawang Riangkotek oleh sporter Leworahang. Waktu itu posisi gol 2-0 untuk Riangkotek. Pertandingan sempat dihentikan.
Riangkotek menolak untuk melanjutkan pertandingan karena situasi tidak memungkinkan, apalagi pihak keamanan seperti yang dijanjikan panitia tidak datang. Pertandingan dihentikan dan Riangkotek pulang dengan iring-iringan kendaraan bersama dengan para penonton desa tetanggan, seperti Kawaliwu, Belogili, Lewotala, Lamatou.
Demi keamanan, ada yang memilih jalan kaki sampai di perbatasan (lungu bele) kuatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di Riangpeda, iring-iringan kendaraan dilempari masyarakat Leworahang dari arah kebun mente. Di tengah kampung ada warga Riangpeda yang berlari menuju iring-iringan kendaraan dengan membawa parang. Situasi semakin kacau. Massa yang berjalan tadi langsung mengejar sampai ke tengah kampung.
Kesal karena tidak dapat pelaku pelemparan, massa marah dan melempari sebuah rumah di pinggir jalan. Sementara itu pipa air minum Riangkotek yang melintasi sepanjang lapangan sepak bola dan sekitarnya dipatahkan oleh masyarakat Leworahang.
Mendengar bahwa, pipa air sudah dipatahkan, Riangkotek blokir jalan untuk akses ke Larantuka.  Senin pagi, 16 Agustus 2010 Kris Hiren Limahekin (PPL Pertanian) yang akan Larantuka ditahan oleh sekelompok masyarakat Riangkotek di pinggir lapangan. Dia disarankan untuk pulang, atau mengikuti jalan lain ke Larantuka sebelum pipa dipasang kembali dan air sampai di Riangkotek. Kris Hiren Limahekin pulang dan menceriterakan di Leworahang bahwa warga Riangkotek sudah memukulnya, dan memblokir jalan ke Larantuka.
Masyarakat Leworahang marah. Mereka membuat ritus adat dengan pemotongan kambing; untuk mengadakan penyerangan ke Riangkotek. Sementara itu di Riangkotek menerima pesan melalui sms yang bernada mengancam, menantang dan sebagainya. Pemerintah Riangkotek menghimbau warganya untuk tetap tenang.
Sekitar pukul 11.00 Wita, ada masyarakat Kawaliwu memberitahkan bahwa sekelompok masyarakat Leworahang sudah berada di daerah wulo wulo bergerak menuju ke Riangkotek lengkap dengan peralatan perang. Dengan peralatan apa adanya, masyarakat Riangkotek bergerak menuju wulo wolo. Kaum perempuan dan anak-anak diarahkan berkumpul di lango bele.
Dalam waktu bersamaan, datanglah Dalmas dan Buser dari Polres Flores Timur. Polisi menghadang Riangkotek di daerah Puskesmas dan Leworahang di wulo wolo. Tidak lama kemudian Kapolres dan rombongan tiba di Riangkotek dan terus Leworahang. Setelah berdialog dengan Leworahang yang berada di wulo wulo, polisi mengantar mereka pulang dengan mobil dalmas. Sebelum belum secara bersama-sama caci maki untuk Riangkotek .
Kembali dari Leworahang Kapolres dan rombongan bertatap muka dengan warga Riangkotek di Langobele.  Disepakati untuk tenang dan tidak terprovaksi. Pipa yang dirusak akan diperbaiki oleh pemerintah dalam hal ini dinas pekerjaan umum. Sebelum air minum masuk di Riangkotek, kebutuhan masyarakat akan dilayani dengan bantuan mobil tangki air dari PDAM. Penyelesaian masalah ini akan difasilitasi Kapolres Flores Timur di Larantuka.
 Untuk menjaga keamanan satu pasukan polisi ditugaskan berjaga-jaga, baik di Riangkotek maupun di Leworahang.

Penyelesaian di Polres Flores Timur

Untuk penyelesaian masalah di Polres masing-masing desa mengutus utusan sesuai dengan undangan dari pemerintah kecamatan. Unsure-unsur masyarakat yang diundang terdiri dari: Kepala Desa, BPD, Lembaga Adat, Tokoh Masyarakat dan tokoh pemuda.
Hasil pertemuan di polres dibuat dalam berita acara yang memuat pokok-pokok berikut:
1.        Leworahang menjaga keamanan pipa air minum Riangkotek.
2.        Riangkotek memberi jaminan keamanan jalan
3.        Urusan adat akan diselesaikan  sejalan dengan proses penyelesaian tapal batas.




PERIODE TAHUN 2011

Pembicaraan di Kantor Desa Riangkotek

Tanggal 19 -2-2011, utusan Leworahang;  Petrus Pati Maran Maran, Antonius Lae Koten, Plasidus Nebo Aran, Yosef  Talu Koten, Wilhelmus Wajo menyampaikan kepada Riangkotek perihal perluasan jaringan listrik ke Leworahang yang melewati wilayah Riangkotek.
Riangkotek mengusulkan supaya sebelum pengerjaan perluasan jaringan listrik, masalah tapal batas, peristiwa Agustus diselesaikan dulu. Karena ini adalah masalah kita, maka kedua pemerintahan desa memfasilitasi proses perdamaian ini.
Pihak Leworahang mengusulkan supaya penyelesaian masalah ini diserahkan saja kepada Tim Independen Kecamatan yang sementara bekerja.

Pertemuan Kantor Camat II
Tanggal 9 April 2011 diadakan Rapat  bertempat di Kantor Camat Lewolema. Kesimpulan Hasil Kerja Tim Kecamatan, sebagai berikut:
1.        Batas wilayah adat sekaligus menjadi batas administrasi desa.
2.        Dalam hal batas wilayah Riangkotek dan Leworahang, maka sebetulnya batas tanah antara Nara Eba dan Lamakemau.
3.        Berdasarkan masukan dari semua nara sumber batas tanah Nara Eba dan Lamakemau yaitu di Lungu Bele.
Pihak Leworahang (Bapak Ama Koten) mengakui batas wilayah sampai di Lunge bele. Lungu bele menurut penuturan tepatnya pada lokasi pego oa peristiwa 5 oktober 1989. Lungu bele sekarang merupakan akibat luapan banjir pada jaman Jepang.
Kesaksian orangtua adat Lewolema (Regi Liwun) tidak  terjadi/tidak tahu ada luapan banjir pada jaman Jepang. Masih terdapat perbedaan.
Skors sidang dengan memilih utusan dari Leworahang, Riangkotek dan pemerintah kecamatan.
Hasilnya dibuat dalam berita acara: yang berisi:
1.        Masing-masing desa kembali berunding lagi dengan masyarakat.
2.        Hari Senin, tanggal 18 April akan diserahkan hasil musyawarah desa dalam bentuk berita acara.
Pasca pertemuan Kantor Camat II
  •   Senin, 18 April 2011:
Berita Acara diantar ke kecamatan. Karena belum ditandatangani oleh para pihak di desa  Leworahang, maka Berita Acara dikembalikan untuk ditandatangani.
Di hadapan Camat Lewolema dan Kapospol Lewolema, Sekretaris Desa menyampaikan secara lisan tentang isi berita acara sebagai berikut:
1.        Mengakui pilar batas administrasi yang sudah dipasang.
2.        Batas administrasi desa disesuaikan dengan lahan garapan masyarakat.
3.        Meminta pemerintah kecamatan dan para pihak untuk meninjau kembali lokasi batas mulai dari gunung sampai di pantai.
  •  Kamis 21 April 2011: Pemasangan pal batas wilayah adminsitrasi Desa Sinar Hading dan Ilepadung dan batas wilayah adat antara tanah nara eba dan lamakemau oleh Kepala Desa Sinar Hading di atas wilayah administrasi Desa Riangkotek.
  •  Jumat, 22 April 2011, Riangkotek membuat pengaduan kepada Camat Lewolema dan Kapospol Lewolema.
  •  Selasa, 26 April 2011 papan pal batas dicabut oleh camat melalui pegawai kecamatan.
  •  Kamis, 28  April 2011 : aksi massa Sinar Hading di Kantor Camat Lewolema
  • Jumat, 29 April  April 2011 : Riangkotek mendapat surat camat Lewolema untuk hadir hari Sabtu sesuai dengan negoisasi dengan pihak pendemo.
Riangkotek menolak untuk hadir dengan mengirim surat. Alasan Riangkotek tidak tahu hasil negoisasi camat dengan pendemo. Pengaduan Riangkotek tentang penyerobotan belum ditanggapi.
  •  Sabtu, 30 April 2011 : surat Riangkotek ditolak oleh camat dan mengutus polisi untuk panggil Kepala Desa, Perangkat desa Riangkotek. Riangkotek tetap menolak untuk hadir.
Terjadi aksi massa dan pemasangan kembali papan bal batas oleh massa Sinar Hading yang dipimpin oleh Kepala Desa Sinar hading
  •  Rabu, 4 Mei 2011 mendapat surat dari camat Lewolema perihal penyerahan penyelesaian Tapal batas Riangkotek – Ilepadung kepada Kepala Desa dan BPD Sinar Hading.

*****************


[1] Sama artinya seperti hadi, dengan mengikat kenema pada lokasi sebagai tanda larang karena ada pemiliknya.
[2] Waktu itu Riangkotek masih merupakan Sub Desa Bantala
[3] Salah seorang yang mencabut pal batas adalah Yosef Lian Aran
[4] Waktu itu sebagai KaurPem Desa Bantala
[5] Wolo Duga Ritan adalah keturunan suku Ritan di Kawaliwu yang tinggal di Leworahang.
[6] Dalam pengalaman Ema Waha (warga Riangkotek) pernah memberi gading kepada Leworahang karena kasus ape nanar.
[7] Anak dari Bapak Rape Koten, pelaku sumpah yang berjabat tangan dengan Bapak Igo Koten.
[8][8] Anak dari Bapak Rape Koten
[9] Bapak Igo adalah om dari bapak Petrus Semai Aran.
[10] Waktu itu sebagai Kepala Desa Leworahang
[11] Riangkotek sudah menjadi desa defenitif, terlepas dari desa induk Bantala.

1 komentar: