TAPAL BATAS
RIANGKOTEK - LEWORAHANG
KRONOLOGIS MASALAH
Dalam Tahun dan Peristiwa
Awal mula konflik
Sekitar bulan
Desember masyarakat Desa Leworahang membuka lahan kontak tani di lokasi newa
KLOMO daerah Ewok Ono. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan garapan Petrus
Suban Ritan (masyarakat Riangkotek) pada
musim tanam 1982/1983. Dengan
demikian, lokasi kontak tani ini merupakan keleda.
Petrus Suban
Ritan tidak menerima kalau lokasi ini dijadikan lahan kontak tani, maka dia
membuat gera[1].
Artinya, Petrus Suban Ritan tidak mau/melarang kalau lokasi tersebut
dijadikan lahan kontak tani. Lokasi ini adalah newa KLOMO milik suku Ritan yang
dikerjakannya tahun lalu. Terjadi
perbedaan pendapat antara Petrus Suban
Ritan dengan Kelompok Tani tentang status kepemilikan lokasi.
PERIODE TAHUN
1984
Tetap berbeda, menuju sumpah adat
Masalah dibawa ke tingkat desa. Boki Koten, waktu itu
sebagai Kepala Desa Leworahang menyurati Kepala Desa Bantala[2] untuk membicarakan batas wilayah. Alasannya bahwa newa ada di atas tanah.
Tanggal 18 Januari 1984 difasilitasi oleh kedua pemerintah
desa diadakan pertemuan tentang batas wilayah bertempat di lokasi Kajo Koja. Rapat
bersama ini melibatkan seluruh elemen desa.
Menurut Leworahang seperti yang dituturkan oleh Bapak Igo Koten
batas wilayah adat sampai di Kajo Koja, tanpa menyinggung dari arah gunung,
sementara dari Riangkotek oleh Bapak
Rape Koten bahwa berdasarkan kesepakatan Kuda Horok dan Haju Lino yaitu dari
Wai Mape menyusuri kali sampai ke pantai (tepatnya di Puho Lewutu).
Masih terdapat perbedaan pendapat, dan tetap bertahan
dengan batas menurut versi masing-masing. Jalan keluar, disepakati dibuat
sumpah adat dengan tetap mempertahankan batas; Riangkotek di Lungu
Bele dan Leworahang di Kajo Koja.
Sumpah Adat
Dua hari
setelah pertemuan di Kajo Koja, dan sesuai dengan kesepakatan maka dibuat
sumpah adat. Sumpah adat dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 1984. Sumpah adat dibuat dengan cara pehe lima dan potong hewan, yaitu:
1.
Pehe lima
Pehe lima dilaksanakan di tempat antara Kajo Koja dan Lungu
Bele. Masing-masing mengutus 2 utusan. Dari Riangkotek Rape Koten dan Yohanes
Pati Ritan. Sementara dari Leworahang Igo Koten dan Gaja Kelen.
Rape Koten pehe lima dengan Igo Koten, dan
Yohanes Pati Ritan dengan Gaja Kelen.
Isi sumpah diucapkan oleh Boki Koten, waktu itu sebagai
Kepala Desa Leworahang.
Isi sumpah:
MIO ATA PAT PI
JANGKA WAKTU WULA TELO, DI ANTARA MIO PAT PI HEGE YANG ELE, KOTO MATA BERARA,
TOU NAI HERU.
Ketika sedang
berlangsung sumpah Rau Maran (warga Leworahang) mengatakan, “wulan telo lela”. Langsung disambut oleh Dowe
Ritan, “ka.....pali.…”! (sambil menyentakkan kaki).
Melihat situasi yang cukup gawat, orangtua Krobi Hurit tampil dan berbicara, “Goe sebagai lewo kaka,
nara eba, situasi pali hero tergantung kaka bapa noo rera wula, belo eka kaha nawa, heti eka kahe lali eka kahe.
2.
Serimoni adat-potong kambing
Usai
pelaksanaan pehe lima dilanjutkan dengan upacara potong hewan. Leworahang
melaksanakan di Kajo Koja, dan Riangkotek di Lungo Bele.
Sebagai raja
tua, Bapak Krobi juga huke karena diyakini tanah Nara Eba sampai di lungu bele.
Setelah huke, kepala dan badan kambing dipikul menuju
kampung Riangkotek dan di hantar sampai di Korke.
Sejak saat itu
terjadi pemutusan hubungan antara Riangkotek dan Leworahang dan
seterusnya tidak tegur sapa.
PERIODE TAHUN
1989
Berawal dari
benu’ lako di Kajo Koja
Musim tanam 1989/1990 masyarakat Riangkotek membuka eta kedanga
ono. Dalam suatu kesempatan di Bulan September 1989, Ande Sina Koten, Pade,
Paulus Pati Koten benu lako di Kajo Koja. Perbuatan beno lako di kajo koja ini
mengakibatkan kajo koja terbakar dan tumbang.
Benu lako yang berakibat pada terbakarnya Kajo Koja menurut
masyarakat Leworahang seperti yang dituturkan
Igo kepada Yahanes Pati Ritan, adalah perbuatan yang disengaja
masyarakat Riangkotek untuk menghilangkan jejak.
Masyarakat Leworahang tidak menerimanya, maka secara sepihak memancang papan pal batas
di Wato Wau. Karena secara sepihak memancang pal batas, maka atas perintah Yohanes
Pati Ritan, masyarakat Riangkotek
mencabut papan pal batas[3].
Selain memancang pal batas, juga muncul isu yang mengancam bahwa ketika masyarakat
Riangkotek seru eta pada tanggal 5 Oktober, masyarakat Leworahang akan gedek/kepung karena lau tahik dan rae
ape, pelae mala ga.
Beberapa hari menjelang seru eta, Yohanes Pati
Ritan[4]
mendatangi Kepala Desa Bantala, menceriterakan situasi terakhir dan meminta
perlindungan keamanan dari pihak kecamatan pada saat seru eta. Kepala Desa
Bantala menyurati Camat Tanjung Bunga di Waiklibang, perihal meminta jaminan
keamanan pada saat masyarakat Riangkotek pada saat seru eta di kedanga ono.
Peristiwa 5
Oktober
Sebelum ke
Leworahang Kepala Desa dan Kaur Pembangunan (Paulus Pati Koten) singgah di
Riangkotek di rumah Yohanes Pati Ritan memberitahukan bahwa mereka akan ke
Leworahang dan pihak kecamatan memberi jaminan keamanan dengan mengutus Babinsa
dan seorang Pol PP yang bernama Anton
Ratu Maran. Selanjutnya Kepala Desa dan Kaur Pembangunan melanjutkan perjalanan
ke Leworahang bertemu Kepala Desa,
meminta jaminan keamanan ketika pelaksanaan
seru eta.
Sekitar
pukul 09.00 ketika Yohanes Pati Ritan tiba di ewok ono, Babinsa dan Pop PP sudah berada di situ. Dalam
pembicaraan dengan Yohanes Pati Ritan
Babinsa mengarahkan supaya pihak Riangkotek tidak perlu bereaksi dulu sebelum
ada aksi dari pihak Leworahang.
Sementara itu Kepala Desa Bantala bersama Kaur Pembangunan
masih berada di Leworahang. Hasil pembicaraan Kepala Desa Bantala dan Kepala
Desa Leworahang bahwa pihak Leworahang akan mengirim utusan untuk
menunjukkan batas wilayah sebelum pelaksanaan seru eta di lokasi tersebut.
Dalam perjalanan pulang ke lokasi
mereka melihat masyarakat Leworahang berjalan menuju lokasi seru eta di lungu bele, lengkap dengan
busur anak panah. Tiba di lokasi Kepala Desa berkumpul bersama masyarakat
Riangkotek. Bersama-sama menunggu utusan dari Leworahang.
Tidak lama kemudian datang Wolo Duga[5] dengan
beberapa orang Leworahang. Ketika
melihat Wolo Duga, Yohanes Pati Ritan marah, “Wolo,…..moe pi yang noni batas? Kame nia lamakemau, bukan moe. Tite ruat belo wekit nanti Leworahang yang
geka, sebaiknya moe gewalik teka mae”. Beberapa orang dari suku Ritan yang berada
di lokasi pada waktu itu seperti Molik Ritan, Dowe Ritan, Suban Laba, Nadus
Bera juga menyuruh Wolo Duga sebaiknya pulang. Wolo Duga pulang dan tidak jadi
menunjuk batas. Waktu itu sekitar pukul
11.00 siang.
Mengingat pembawa api sudah dekat dengan lokasi, maka
inisiatif Yohanes Pati Ritan atas arahan dari Babinsa untuk
hae nae
sepanjang lokasi yang akan
dilalui pembawa api sehingga api tidak nanar.[6]
Hadir pada waktu itu selain pihak keamanan dari kecamatan, juga hansip dari
dua desa, diantaranya Nabas Koten, hansip Leworahang.
PERIODE TAHUN
1996 - 1997
Menuju
Perdamain
Sejak
pemutusan hubungan dengan diadakan Sumpah Adat tahun 1984, sampai dengan tahun
1996 praktis tidak terjadi tegur sapa
antara warga kedua desa. Dalam situasi
masyarakat yang demikian, berbeda dengan
Igo Koten.
Igo Koten tegur sapa seperi biasa. Menurut penuturan
Yohanes Pati Ritan, mereka beberapa kali minum tuak bersama di Paeba. Begitu juga seperti yang
dituturkan Yohanes Suban Koten[7], bahwa
orangtua Igo beberapa kali singgah di rumah, Dalam suatu kesempatan pada
tanggal 4 Oktober 1992, Bapak Igo meminta Pater Yeremias Purin Koten[8] untuk
misa perdana di Leworahang. Mengingat situasi yang belum kondusif, maka bapak
Rape menolak.
Bahkan bapak Igo pernah bermalam di rumah Petrus Semai Aran[9]. Pada
intinya dalam setiap percakapan itu, bapak Igo berkeinginan mengusahakan
perdamaian antara dua desa ini.
Di bulan 14 Agustus 1996,
Bapak Igo Koten dan Yohanes Soge Koten[10]
mendatangi rumah kepala Desa Riangkotek, Yohanes Suban Aran.[11] Dalam
pertemuan itu, seperti yang dituturkan Kepala Desa Riangkotek bahwa akan dibuat
papan pal batas. Mengingat situasi yang masih kurang kondusif antar dua desa perihal tapal batas maka Kepala
Desa mengajak Bapak Igo dan Yohanes Soge Koten ke rumah orangtua adat; Bapak Rape
Koten.
Di rumah Bapak Rape Koten sudah hadir Yohanes Suban Koten.
Bapak Igo Koten dan Yohanes Soge Koten menyampaikan maksud kedatangan mereka yakni pemasangan pilar batas
dan perdamaian antar dua desa.
Kehadiran Bapak Igo Koten di rumah Bapak Rape Koten
menunjukkan pembuktian sumpah pada tanggal 20 Januari 1984, yang berbunyi “MIO
ATA PAT PI JANGKA WAKTU WULA TELO, DI ANTARA MIO PAT PI HEGE YANG ELE, KOTO
MATA BERARA, TOU NAI HERU”
Perdamaian Adat
Disepakati bahwa sebelum diadakan
pemasangan pal batas didahului dengan upacara perdamaian. Kunjungan pertama
dari Leworahang pada hari Minggu, 31 Agustus 1997dengan membawa sebatang
gading.
Minggu, 7 September 1989 masyarakat
Riangkotek mengujungi Leworahang. Dalam kesempatan kunjungan itu, hadir pula
Pater Petrus Nong Lewar, SVD waktu itu sebagai pastor paroki Belogili - Leworahang.
Masih tersimpan rekaman berupa pita suara acara sambutan dalam kunjungan ini.
Pemasangan Pilar Batas
Peristiwa
tsunami tahun tahun 1992, mengakibatkan sebagian ruas jalan lama tenggelam,
sehingga dibuka jalan baru; sebelah atas jalan lama mulai dari wato hoko. dengan demikian pemasangan
pal batas juga mengikuti situasi ini.
Disepakati bahwa, pal batas dipasang sebelah timur kali (di
lokasi Riangkotek), dengan alasan kalau dipasang sebelah barat (lokasi
Leworahang) maka dalam acara serimonial adat Riangkotek tidak bisa huke.
Seminggu setelah upacara perdamaian di Leworahang,
selanjutnya bersama-sama memasang pal batas administrasi di lungu bele. Upacara pemasangan pal batas ini didahului
dengan upacara peletakan batu pertama oleh orangtua adat; Bapak Rape Koten dan
Igo Koten. Hadir dalam kesempatan itu Camat Tanjung Bunga, waktu itu Bapak
Petrus Toda Atawolo.
******
PERIODE TAHUN 2010
Kesepakatan
pemasangan pilar
Suatu
kesempatan dalam pertemuan di Kantoer Camat Lewolema tentang batas adminsitrasi
desa di Lewolema, Kepala Desa Riangkotek dan Leworahang bersepakat untuk
membuat pilar pembantu di perbatasan.
Disepakati pemasangan pilar pembantu ini mulai dari gunung
mengikuti kali sampai di pantai. Pembuatan pilar dikerjakan oleh masyarakat
Leworahang, Riangkotek mengirim bahan berupa 2 sak semen. Pemasangan pilar
dikerjakan oleh masyarakat dua desa.
Pertemuan lungu bele
Tanggal 8 Juli 2010 terjadi pertemuan di lokasi lungu
bele, perihal pemasangan pilar pembantu. Pertemuan ini dipandu oleh Antonius
Lae Koten (sekretaris desa Ilepadung). Disampaikan bahwa sudah ada kesepakatan antara
kedua pemerintah desa untuk memasang pilar pembantu. Pemasangan pilar pembantu
dimaksud agar tidak terjadi pelanggaran batas di kemudian hari seperti yang
pernah terjadi bagian atas jalan raya, ada masyarakat Riangkotek yang sudah
menanam jati di lokasi Leworahang. Pilar
pembantu ini akan ditanam mulai dari gunung sampai di pantai. Lokasi bagian
atas jalan sudah jelas seperti sekarang, yaitu mengikuti kali mati/lungu bele. Bagian
bawah jalan perlu kita sepakati dulu.
Leworahang mengusulkan supaya pilar dipasang sepanjang
lokasi berdasarkan pego oa (versi Leworahang) hae nae (versi Riangkotek) pada peristiwa 5
oktober 1989. Menurut Bapak Ama Koten,
sekitar tahun 1952 terjadi luapan banjir/wangak seoar bersamaan dengan lungu
tobi.
Bapak Rebon Aran (Ketua BPD Ilepadung), mengatakan bahwa
kita tidak perlu mempermasalahkan lungu seor karena kita di sini mungkin tidak
ada yang tahu. Batas wilayah ini, kita ikuti saja peristiwa pego oa 1989 dan
dengan menarik garis lurus dari pilar induk ke pantai tepatnya di kaju keledo.
Dari Riangkotek bahwa batas wilayah sudah selesai
dibicarakan pada tahun 1997, dengan perdamaian adat dan pemasanga pilar batas
di lungu bele. Batas tetap dari wai mape menyusuri kali (lungu bele) sampai ke
pantai, tepatnya di poho lewutu.
Terjadi perbedaan titik batas. Ada yang mengusulkan supaya
batas berdasarkan lahan garapan masyarakat. Petrus Pati Maran mengusulkan bagi
dua bagian antara lungu bele dan kajo keledo dengan titik pusat pilar induk.
Leworahang bersikukuh agar pilar
pembantu dipasang pada hari itu, tetapi Riangkotek menolak. Terjadi skors. Hasil
skor minta waktu kembali berunding dengan masyarakat (kurang lebih 1 minggu).
Hari Sabtu 10 Juli 2010, masyarakat Riangkotek mengadakan
pertemuan desa perihal batas wilayah. Hasil pertemuan dituangkan dalam surat
yang ditujukan kepada Kepala Desa Ilepadung.
Pemasangan pilar pembantu
Tanggal 12 April 2010, Kepala Desa Leworahang bersama
dengan Ketua BPD ke rumah kepada Desa
Riangkotek. Perihal waktu pemasangan pilar.
Kepala Desa Riangkotek menyarankan agar pemasangan pilar pembantu tunggu
ada kesepakatan dulu.
Hari Sabtu 16 Juli 2010, Leworahang memasang pilar pembantu
sepanjang lokasi pego oa sampai di
pantai.
Sikap Riangkotek
Riangkotek
tidak menerima tindakan Leworahang yang memasang pilar pembantu. Tentang titik
pamasangan pilar pembantu masih dalam pembicaraan yang belum ada titik temu,
tetapi secara sepihak sudah menanam.
Hari Minggu, 17 Juli 2010 bertempat di langbele diadakan
pertemuan desa. Hasil pertemuan desa membuat surat pengaduan kepada Pospol
Lewolema perihal penyebotan dan Camat Lewolema perihal fasilitasi penyelesaian
batas administrasi.
Pertemuan Kantor
Camat I
Tanggal 21
Juli 2010 difasilitasi pemerintah Kecamatan Lewolema diadakan pertemuan
penyelesaian di Kantor Camat. Pertemuan dihadiri utusan dari kedua desa. Pihak
kepolisian Resort Flores Timur juga hadir pada kesempatan itu dengan kekuatan satu
unit mobil Dalmas.
Dalam pertemuan ini, masing-masing
tetap mempertahankan batas. Setelah mendengar pendapat dari Koramil Kota,
Kapospol Lewolema, maka pemerintah kecamatan memutuskan:
1.
Demi keamananan pilar pembantu dicabut
oleh pihak kepolisian.
2.
Pemerintah Kecamatan akan membentuk
Tim Independen yang bertugas mencari
data-data pendukung penyelesaian.
Peristiwa
Agustus
Kebiasaan di Kecamatan
Lewolema perayaan Agustusan dirayakan secara bergilir dari desa ke desa. Tahun
2010 giliran dirayakan di Leworahang.
Mengingat situasi yang belum kondusif, Riangkotek menolak
untuk ikut dalam kegiatan olahraga. Namun pihak pemerintah kecamatan dan
panitia tiga kali mengadakan pendekatan dengan Riangkotek untuk
berpartisipasi. Pemerintah kecamatan dan
panitia menjamin keamanan, maka Riangkotek akhirnya ikut dalam kegiatan
olahraga.
Hari Minggu, 15 Agustus 2010 final sepak bola antara Riangkotek vs Leworahang. Riangkotek sekali lagi minta
jaminan keamanan kepada panitia dan pemerintah kecamatan. Pantia dan pemerintah
kecamatan memberi jaminan akan meminta keamanan tambahan dari Polres Flores
Timur.
Pertandingan final dilaksanakan, walaupun tanpa kehadiran
Polres Flores Timur. Dalam pertandingan ini terjadi kekacauan yang berawal dari
pemukulan penjaga gawang Riangkotek oleh sporter Leworahang. Waktu itu posisi
gol 2-0 untuk Riangkotek. Pertandingan sempat dihentikan.
Riangkotek menolak untuk melanjutkan pertandingan karena
situasi tidak memungkinkan, apalagi pihak keamanan seperti yang dijanjikan
panitia tidak datang. Pertandingan dihentikan dan Riangkotek pulang dengan
iring-iringan kendaraan bersama dengan para penonton desa tetanggan, seperti
Kawaliwu, Belogili, Lewotala, Lamatou.
Demi keamanan, ada yang memilih jalan kaki sampai di
perbatasan (lungu bele) kuatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di
Riangpeda, iring-iringan kendaraan dilempari masyarakat Leworahang dari arah
kebun mente. Di tengah kampung ada warga Riangpeda yang berlari menuju
iring-iringan kendaraan dengan membawa parang. Situasi semakin kacau. Massa
yang berjalan tadi langsung mengejar sampai ke tengah kampung.
Kesal karena tidak dapat pelaku pelemparan, massa marah dan
melempari sebuah rumah di pinggir jalan. Sementara itu pipa air minum
Riangkotek yang melintasi sepanjang lapangan sepak bola dan sekitarnya
dipatahkan oleh masyarakat Leworahang.
Mendengar bahwa, pipa air sudah dipatahkan, Riangkotek
blokir jalan untuk akses ke Larantuka.
Senin pagi, 16 Agustus 2010 Kris Hiren Limahekin (PPL Pertanian) yang
akan Larantuka ditahan oleh sekelompok masyarakat Riangkotek di pinggir
lapangan. Dia disarankan untuk pulang, atau mengikuti jalan lain ke Larantuka
sebelum pipa dipasang kembali dan air sampai di Riangkotek. Kris Hiren
Limahekin pulang dan menceriterakan di Leworahang bahwa warga Riangkotek sudah
memukulnya, dan memblokir jalan ke Larantuka.
Masyarakat Leworahang marah. Mereka membuat ritus adat
dengan pemotongan kambing; untuk mengadakan penyerangan ke Riangkotek.
Sementara itu di Riangkotek menerima pesan melalui sms yang bernada mengancam,
menantang dan sebagainya. Pemerintah Riangkotek menghimbau warganya untuk tetap
tenang.
Sekitar pukul 11.00 Wita, ada masyarakat Kawaliwu
memberitahkan bahwa sekelompok masyarakat Leworahang sudah berada di daerah
wulo wulo bergerak menuju ke Riangkotek lengkap dengan peralatan perang. Dengan
peralatan apa adanya, masyarakat Riangkotek bergerak menuju wulo wolo. Kaum
perempuan dan anak-anak diarahkan berkumpul di lango bele.
Dalam waktu bersamaan, datanglah Dalmas dan Buser dari
Polres Flores Timur. Polisi menghadang Riangkotek di daerah Puskesmas dan
Leworahang di wulo wolo. Tidak lama kemudian Kapolres dan rombongan tiba di
Riangkotek dan terus Leworahang. Setelah berdialog dengan Leworahang yang
berada di wulo wulo, polisi mengantar mereka pulang dengan mobil dalmas.
Sebelum belum secara bersama-sama caci maki untuk Riangkotek .
Kembali dari Leworahang Kapolres dan rombongan bertatap
muka dengan warga Riangkotek di Langobele.
Disepakati untuk tenang dan tidak terprovaksi. Pipa yang dirusak akan
diperbaiki oleh pemerintah dalam hal ini dinas pekerjaan umum. Sebelum air
minum masuk di Riangkotek, kebutuhan masyarakat akan dilayani dengan bantuan
mobil tangki air dari PDAM. Penyelesaian masalah ini akan difasilitasi Kapolres
Flores Timur di Larantuka.
Untuk menjaga
keamanan satu pasukan polisi ditugaskan berjaga-jaga, baik di Riangkotek maupun
di Leworahang.
Penyelesaian
di Polres Flores Timur
Untuk penyelesaian masalah di Polres masing-masing desa
mengutus utusan sesuai dengan undangan dari pemerintah kecamatan. Unsure-unsur
masyarakat yang diundang terdiri dari: Kepala Desa, BPD, Lembaga Adat, Tokoh
Masyarakat dan tokoh pemuda.
Hasil pertemuan di polres dibuat dalam berita acara yang
memuat pokok-pokok berikut:
1.
Leworahang menjaga keamanan pipa air
minum Riangkotek.
2.
Riangkotek memberi jaminan keamanan
jalan
3.
Urusan adat akan diselesaikan sejalan dengan proses penyelesaian tapal
batas.
PERIODE TAHUN 2011
Pembicaraan di
Kantor Desa Riangkotek
Tanggal 19 -2-2011, utusan Leworahang; Petrus Pati Maran Maran, Antonius Lae Koten,
Plasidus Nebo Aran, Yosef Talu Koten,
Wilhelmus Wajo menyampaikan kepada Riangkotek perihal perluasan jaringan
listrik ke Leworahang yang melewati wilayah Riangkotek.
Riangkotek mengusulkan supaya sebelum pengerjaan perluasan
jaringan listrik, masalah tapal batas, peristiwa Agustus diselesaikan dulu.
Karena ini adalah masalah kita, maka kedua pemerintahan desa memfasilitasi
proses perdamaian ini.
Pihak Leworahang mengusulkan supaya penyelesaian masalah
ini diserahkan saja kepada Tim Independen Kecamatan yang sementara bekerja.
Pertemuan
Kantor Camat II
Tanggal 9
April 2011 diadakan Rapat bertempat di
Kantor Camat Lewolema. Kesimpulan Hasil Kerja Tim Kecamatan, sebagai berikut:
1.
Batas wilayah adat sekaligus menjadi
batas administrasi desa.
2.
Dalam hal batas wilayah Riangkotek dan
Leworahang, maka sebetulnya batas tanah antara Nara Eba dan Lamakemau.
3.
Berdasarkan masukan dari semua nara
sumber batas tanah Nara Eba dan Lamakemau yaitu di Lungu Bele.
Pihak
Leworahang (Bapak Ama Koten) mengakui batas wilayah sampai di Lunge bele. Lungu
bele menurut penuturan tepatnya pada lokasi pego oa peristiwa 5 oktober 1989.
Lungu bele sekarang merupakan akibat luapan banjir pada jaman Jepang.
Kesaksian orangtua adat Lewolema (Regi Liwun) tidak terjadi/tidak tahu ada luapan banjir pada
jaman Jepang. Masih terdapat perbedaan.
Skors sidang dengan memilih utusan
dari Leworahang, Riangkotek dan pemerintah kecamatan.
Hasilnya
dibuat dalam berita acara: yang berisi:
1.
Masing-masing desa kembali berunding
lagi dengan masyarakat.
2.
Hari Senin, tanggal 18 April akan
diserahkan hasil musyawarah desa dalam bentuk berita acara.
Pasca
pertemuan Kantor Camat II
- Senin, 18 April 2011:
Berita Acara
diantar ke kecamatan. Karena belum ditandatangani oleh para pihak di desa Leworahang, maka Berita Acara dikembalikan
untuk ditandatangani.
Di hadapan Camat Lewolema dan Kapospol
Lewolema, Sekretaris Desa menyampaikan secara lisan tentang isi berita acara
sebagai berikut:
1.
Mengakui pilar batas administrasi yang
sudah dipasang.
2.
Batas administrasi desa disesuaikan
dengan lahan garapan masyarakat.
3.
Meminta pemerintah kecamatan dan para
pihak untuk meninjau kembali lokasi batas mulai dari gunung sampai di pantai.
- Kamis 21 April 2011: Pemasangan pal batas wilayah adminsitrasi Desa Sinar Hading dan Ilepadung dan batas wilayah adat antara tanah nara eba dan lamakemau oleh Kepala Desa Sinar Hading di atas wilayah administrasi Desa Riangkotek.
- Jumat, 22 April 2011, Riangkotek membuat pengaduan kepada Camat Lewolema dan Kapospol Lewolema.
- Selasa, 26 April 2011 papan pal batas dicabut oleh camat melalui pegawai kecamatan.
- Kamis, 28 April 2011 : aksi massa Sinar Hading di Kantor Camat Lewolema
- Jumat, 29 April April 2011 : Riangkotek mendapat surat camat Lewolema untuk hadir hari Sabtu sesuai dengan negoisasi dengan pihak pendemo.
Riangkotek menolak untuk hadir dengan mengirim surat.
Alasan Riangkotek tidak tahu hasil negoisasi camat dengan pendemo. Pengaduan
Riangkotek tentang penyerobotan belum ditanggapi.
- Sabtu, 30 April 2011 : surat Riangkotek ditolak oleh camat dan mengutus polisi untuk panggil Kepala Desa, Perangkat desa Riangkotek. Riangkotek tetap menolak untuk hadir.
Terjadi aksi massa dan pemasangan kembali papan bal batas
oleh massa Sinar Hading yang dipimpin oleh Kepala Desa Sinar hading
- Rabu, 4 Mei 2011 mendapat surat dari camat Lewolema perihal penyerahan penyelesaian Tapal batas Riangkotek – Ilepadung kepada Kepala Desa dan BPD Sinar Hading.
*****************
[1] Sama artinya seperti hadi,
dengan mengikat kenema pada lokasi sebagai tanda larang karena ada pemiliknya.
[2] Waktu itu Riangkotek masih merupakan Sub Desa Bantala
[4] Waktu itu sebagai KaurPem Desa Bantala
[6] Dalam pengalaman
Ema Waha (warga Riangkotek) pernah memberi gading kepada Leworahang karena
kasus ape nanar.
[7] Anak dari Bapak Rape Koten, pelaku sumpah yang berjabat tangan
dengan Bapak Igo Koten.
[9] Bapak Igo adalah om dari bapak Petrus Semai Aran.
[10] Waktu itu sebagai Kepala Desa Leworahang
[11] Riangkotek sudah menjadi desa defenitif, terlepas dari desa induk
Bantala.
Asyk terharu campur senang mendengarx
BalasHapus