PENDAHULUAN
John Killinger, profesor homiletik berpendapat: “Dunia telah berubah menjadi desa dunia. Kita hidup dengan televisi, video tape, alat perekam, komputer, kamera, proyektor, mesin cetak, mesin fotocopy – segala perpanjangan mekanis dari diri manusia. Lebih dari yang lain …. alat-alat ini telah mengubah zaman dimana kita hidup.”
Pewartaan adalah kegiatan komunikasi. menurut Black Jay dan Frederick Whitney, komunikasi
merupakan proses dimana masing-masing individu terlibat dalam tukar menukar
makna. Komunikasi
tidak hanya terdiri dari pernyampaian pesan secara verbal, langsung dan dengan
maksud tertentu, melainkan juga semua proses dimana orang saling mempengaruhi satu sama lain. Proses komunikasi itu dapat
melalui media audio visual, baik group media maupun mass media.
Pierre Babin OMI, ahli katekese audio-visual menegaskan bahwa
televisi lebih mengutamakan bahasa simbolis daripada bahasa konseptual. Bahasa
simbolis adalah bahasa yang menggoda,
menggetarkan emosi sebelum akhirnya ia berfungsi menerangkan. Bahasa
simbolis menggerakkan bukan hanya roh, tetapi juga hati dan tubuh kita. Bahasa
simbolis adalah bahasa yang penuh resonansi, ritme, cerita, imaginasi, sugesti
dan koneksi. Bahasa itu berbeda dengan bahasa konseptual sebagai bentuk bahasa
yang menyediakan representasi mental yang baku, terbatas, abstrak atas
realitas.
Menurut
Babin, televisi bekerja dengan prinsip symbolic
way. Televisi menggunakan imaginasi,
gambar, intuisi,
cerita, nyanyian, dan pengalaman-pengalaman yang di-share-kan. Pewartaan iman,
menurut Babin, bisa dijalankan dengan dua cara, yaitu katekese (instruksional)
dan symbolic way.
Dalam zaman ini,
bila kita ingin mengadakan pewartaan iman atau pendalaman iman bagi generasi
yang dipengaruhi bahasa televisi, kita harus menggunakan bahasa simbolis.
Alasannya, bahasa jenis ini mempunyai pendekatan yang penuh gambar, imaginasi
dan cerita. Tujuan utamanya bukan pemahaman intelektual, tetapi keterlibatan
hati dan pertobatan. Iman di zaman
sekarang harus ditemukan dalam kesadaran akan pentingnya mata, atau
interioritas pribadi manusia. Hanya iman yang dibangun di atas interioritas
pribadi akan bertahan dan berkembang.
Penyebaran
makna bukanlah sekedar pengiriman atau penerimaan informasi, melainkan hasil
dari kegiatan menerima dan memberi melalui interaksi sosial. Dengan demikian
pewartaan iman sebagai proses komunikasi merupakan kegiatan mengelola pesan
(keselamatan) dengan tujuan menciptakan makna (imani).
BAB I
MEDIA AUDIO VISUAL
PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS
A.
PENGERTIAN DAN TUJUAN
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, media adalah alat atau sarana komunikasi seperti
koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Media
disebut juga alat-alat audio visual, artinya alat yang dapat dilihat dan
didengar yang dipakai dengan maksud untuk membuat cara berkomunikasi
lebih efektif dan efisien.
Media
merupakan kata jamak dari kata medium yang berasal dari bahasa Latin medium yang berarti antara. Pada umumnya, definisi media selalu didasarkan
pada proses komunikasi. Media merupakan perantara bagi pengirim (sender) dan
penerima (receiver) dalam melakukan pertukaran informasi.
Dengan
penggunaan alat-alat ini orang dapat berkomunikasi lebih hidup serta
interaksinya bersifat multi arah. Media adalah alat yang dapat membantu proses
komunikasi yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga
tujuan dapat tercapai dengan lebih baik, lebih sempurna.
Pemanfaatan
media memiliki beberapa tujuan yaitu: untuk memotivasi perilaku tertentu (to
motivate), menyampaikan informasi (to inform) dan pembelajaran (to instruct).
Media memungkinkan
pemakainya dapat mengatasi hambatan berupa
ruang dan waktu dalam memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan. Media tertentu
seperti media audio visual dapat memberikan pengalaman belajar langsung kepada
pemakainya. Medium televisi dapat mengungkapkan peristiwa yang berlangsung di
tempat yang cukup jauh. Medium lain seperti halnya film dan video memiliki
potensi dalam mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
masa lalu.
B.
JENIS-JENIS MEDIA
Berbagai sudut pandang menggolongkan jenis-jenis media. Pada umumnya
media akan diklasifikasikan menjadi: media visual, media audio, dan media
audio-visual.
1. Media Visual
a. Media yang tidak diproyeksikan
·
Media realia adalah
benda nyata. Benda tersebut
tidak harus dihadirkan, tetapi dapat melihat langsung ke obyek.
·
Model adalah benda
tiruan dalam wujud tiga dimensi yang merupakan representasi atau pengganti dari
benda yang sesungguhnya. Penggunaan model untuk mengatasi kendala tertentu
sebagai pengganti realia.
·
Media grafis
tergolong media visual yang menyalurkan pesan melalui simbol-simbol visual.
Fungsi dari media grafis adalah menarik perhatian, memperjelas pesan,
dan mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan jika hanya
dilakukan melalui penjelasan verbal.
Jenis-jenis media
grafis adalah:
-
gambar/foto: paling
umum digunakan
-
sketsa: gambar
sederhana atau draft kasar yang melukiskan bagian pokok tanpa detail. Dengan sketsa dapat menarik perhatian,
menghindarkan verbalisme, dan memperjelas pesan.
-
diagram/skema:
gambar sederhana yang menggunakan garis dan simbol untuk menggambarkan struktur
dari obyek tertentu secara garis besar.
-
bagan/ chart:
menyajikan ide atau konsep yang sulit sehingga lebih mudah dicerna. Selain itu
bagan mampu memberikan ringkasan butir-butir penting dari pesan. Dalam bagan
sering dijumpai bentuk grafis lain, seperti: gambar, diagram, kartun, atau
lambang verbal.
-
grafik: gambar
sederhana yang menggunakan garis, titik, simbol verbal atau bentuk tertentu
yang menggambarkan data kuantitatif.
b. Media Proyeksi
1)
Transparansi OHP/LCD
Perangkat media transparansi meliputi perangkat lunak
(Overhead transparancy/OHT) dan perangkat keras (Overhead projector/ OHP/ komputer).
Teknik pembuatan media transparansi, yaitu:
-
Mengambil dari
bahan cetak dengan teknik tertentu
-
Membuat sendiri
secara manual
2)
Film bingkai /
slide
Adalah film transparan yang umumnya berukuran 35 mm dan
diberi bingkai 2X2 inci. Dalam satu paket berisi beberapa film bingkai yang
terpisah satu sama lain. Manfaat film bingkai hampir sama dengan transparansi
OHP, hanya kualitas visual yang dihasilkan lebih bagus. Sedangkan kelemahannya
adalah biaya produksi dan peralatan lebih mahal serta kurang praktis. Untuk
menyajikan dibutuhkan proyektor slide.
2.
Media Audio
a. Radio
Radio merupakan perlengkapan elektronik yang dapat
digunakan untuk mendengarkan berita yang bagus dan aktual, dapat mengetahui
beberapa kejadian dan peristiwa-peristiwa penting dan baru, masalah-masalah
kehidupan dan sebagainya. Radio dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang
cukup efektif.
b.
Kaset/cd - audio
Keuntungannya adalah merupakan media yang ekonomis karena
biaya pengadaan dan perawatan murah.
3. edia Audio-Visual
a.
Media video
Merupakan salah satu jenis media audio visual, seperti film. Yang banyak dikembangkan untuk keperluan
pembelajaran, biasa dikemas dalam bentuk VCD.
b.
Media computer
Media ini memiliki semua kelebihan yang dimiliki oleh
media lain. Selain mampu menampilkan teks, gerak, suara dan gambar, komputer
juga dapat digunakan secara interaktif, bukan hanya searah. Bahkan komputer
yang disambung dengan internet dapat memberikan keleluasaan belajar menembus
ruang dan waktu serta menyediakan sumber belajar yang hampir tanpa batas.
C. PANDANGAN GEREJA TERHADAP MEDIA KOMUNIKASI
Sarana komunikasi sosial
telah menjadi demikian penting sehingga banyak menjadi sarana utama informasi,
pendidikan, bimbingan, dan inspirasi dalam tingkahlaku individu-individu,
keluarga-keluarga dan masyarakat luas pada umumnya. Beriktu beberapa dokumen
Gereja yang berbicara tentang sikap dan pemanfaatan media komunikas, yaitu:
a. Konsili Vatikan II (Inter
Mirifica) mengajak untuk memanfaatkan sarana komunikasi modern untuk karya
pewartaan dan penggembalaan Gereja.
b. Ensiklik Communio
et Progressio (128), Paus Paulus VI menegaskan bahwa media modern
menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan Injil.
c. Evangelii
Nuntiandi (45) beliau juga
menegaskan, Gereja akan merasa bersalah di hadapan Kristus bila gagal
menggunakan media untuk evangelisasi. Paus Yohanes Paulus juga mendukung
pemanfaatan media massa untuk katekese.
d. Ensiklik Redemptoris
Missio (37) beliau menyebut media
sebagai aeropogus pertama di zaman
modern. Maka Gereja belumlah cukup untuk
menggunakan media sekedar untuk menyebarkan pesan Injil dan ajaran otentik
Gereja. Namun juga perlu mengintegrasikan pesan Injil ke dalam kebudayaan baru
yang diciptakan oleh komunikasi modern.
e. Paus Benediktus XVI (dalam pesan hari
komunikasi ke-44 pada tahun imam ini mengangkat tema) Imam dan
Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda.
Ditegaskannya bahwa penggunaan teknologi komunikasi baru ini sangatlah perlu,
khususnya dalam menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang dirasakan di
tengah pergeseran dunia dewasa ini. Kita
ditantang untuk mewartakan Injil dengan menggunakan generasi teknologi
audiovisual yang paling mutakhir (gambar, video, animasi, blog dan website)
yang seiring dengan media tradisional dapat membuka wawasan baru dan luas demi
dialog, evangelisasi, dan katekese.
BAB II
AUDIO VISUAL:
SEBAGAI MEDIA
PEMBELAJARAN
Dr.
Vernom A. Magnesen (1983) menyatakan kita belajar, "10% dari apa yang dibaca;
20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang
dilihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, 90% dari apa yang
dilakukan". Berpijak kepada konsep Vernom, bahwa pembelajaran dengan
mempergunakan teknologi audiovisual akan meningkatkan kemampuan belajar sebesar
50%, daripada dengan tanpa mempergunakan media.
A.
PENGERTIAN MEDIA
PEMBELAJARAN
Media berasal dari
bahasa latin merupakan bentuk jamak dari medium
yang secara
harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima
pesan. Secara khusus, kata tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi
yang digunakan untuk membawa informasi dari satu sumber kepada penerima.
Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang
digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari
pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik
untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
Berikut pendapat beberapa ahli yang dirangkum oleh Akhmad Sudrajat dalam
http//www.Wordpressakhmad sudrajar.com/Akhmad
Sudrajat Let’s Talk About Education.htm sebagai berikut;
1.
Schramm (1977)
Media
pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran.
2.
Briggs (1977)
Media
pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran
seperti : buku, film, video dan sebagainya.
3.
National Education
Associaton (1969)
Media pembelajaran
adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk
teknologi perangkat keras.
Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa
media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat
merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat
mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Menurut Brown (1973) media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Namun satu
hal yang perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila
penggunaannya tidak sejalan dengan isi dan tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan. Secanggih apa pun media tersebut, tidak dapat dikatakan menunjang
pembelajaran apabila keberadaannya menyimpang dari isi dan tujuan pembelajarannya.
B. FUNGSI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Ada dua fungsi utama media pembelajaran yang perlu kita ketahui. Yaitu media adalah sebagai alat bantu pembelajaran, dan fungsi kedua media adalah sebagai sumber belajar.
1.
Media Sebagai Alat Bantu
Setiap materi ajar memiliki tingkat kesukaran yang
bervariasi. Pada satu sisi ada materi ajar yang tidak memerlukan alat bantu,
tetapi di lain pihak ada materi ajar yang sangat memerlukan alat bantu berupa media
pembelajaran. Materi ajar dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar dipahami
oleh siswa. Tanpa bantuan media, maka materi ajar menjadi sukar dicerna dan
dipahami oleh setiap siswa. Hal ini akan semakin terasa apabila materi ajar
tersebut abstrak dan rumit/kompleks.
Sebagai alat bantu, media mempunyai fungsi melicinkan
jalan menuju tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa
kegiatan pembelajaran dengan bantuan media mempertinggi kualitas kegiatan
belajar siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama.
Itu berarti, kegiatan belajar siswa dengan bantuan media
akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan
media.
2.
Media Sebagai
Sumber Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai tempat bahan pembelajaran untuk belajar peserta didik
tersebut berasal. Sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima kategori,
yaitu manusia, buku perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Media pendidikan, sebagai salah
satu sumber belajar, ikut membantu guru dalam memudahkan tercapainya
pemahaman materi
ajar oleh siswa, serta dapat memperkaya wawasan siswa.
Secara
rinci manfaat media pembelajaran :
1)
Media pembelajaran dapat
mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik.
2)
Media pembelajaran
dapat melampaui batasan ruang kelas
3)
Media pembelajaran
memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan
lingkungannya.
4)
Media menghasilkan
keseragaman pengamatan
5)
Media dapat
menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis
6)
Media membangkitkan
keinginan dan minat baru
7)
Media membangkitkan
motivasi dan merangsang anak untuk belajar
8)
Media memberikan
pengalaman yang integral/ menyeluruh
dari yang konkrit sampai dengan abstrak
C. MACAM /JENIS
MEDIA PEMBELAJARAN
Berdasarkan jenisnya, media dapat Anda bedakan atas (1)
media audiktif, (2) media visual, dan (3) media audio visual. Media audiktif
adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja. Yang termasuk jenis
media ini antara lain meliputi tape recorder dan radio.
Media visual adalah
media yang hanya mengandalkan indra pengelihatan. Yang temasuk jenis ini antara
lain meliputi gambar, foto, serta benda nyata yang tidak bersuara.
Adapun media
audiovisual adalah media yang mempunyai unsure suara dan unsur gambar. Beberapa
contoh media audiovisual meliputi televisi, video, film, atau demonstrasi
langsung. Media audiovisual dapat Anda
bedakan lagi menjadi (a) audio visual diam dan (b) audio visual gerak.
Audio visual diam
adalah media yang menampilkan suara dan gambar diam (tidak bergerak). Misalnya,
film bingkai suara sound sistem, film rangkai suara, dan cetak suara. Audio visual
gerak adalah media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak.
Misalnya, film suara dan video-cassette.
Pembagian lain, media dibedakan sebagai berikut;
a. Media
Visual
Terdiri atas media visual yang tidak diproyeksikan (non
proyeksi) dan media visual yang diproyeksikan. Media nonproyeksi disebut juga
media pameran atau displayed media. Media yang termasuk media nonproyeksi
adalah gambar nati, ilustrasi, karikatur, poster, bagan, diagram, grafik, peta
datar, replika dan model, papan, dan sketsa. Media yang termasuk sebagai media yang diproyeksikan
adalah overhead transparansi (OHT), slide, filmstrips, dan opaque. Media tersebut
diproyeksikan ke layar dengan menggunakan proyektor.
Perkembangan teknologi yang ada saat ini memungkinkan
komputer dan video juga diproyeksikan dengan menggunakan peralatan khusus,
yaitu LCD.
c.
Media Audio
Media audio merupakan media yang fleksibel karena
bentuknya yang mudah dibawa, praktis, dan relatif murah (misalnya tape compo,
pengeras suara). Media audio ini mencakup program wicara, wawancara, diskusi, bulletin, warta berita,
program dokumenter program feature dan majalah udara, drama audio)
d.
Media Video
d.Media
video dapat digunakan sebagai alat bantu mengajar pada berbagai bidang studi.
Hal itu disebabkan oleh kemampuan video untuk memanipulasi kondisi waktu dan
ruang .
e.
Media Berbasis
Komputer
e.Media
komputer juga mampu menampilkan unsur audio-visual yang bermanfaat untuk
meningkatkan minat belajar siswa, atau yang dikenal dengan program multi media.
D. PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan media adalah sebagai beriktu:
1.
Tujuan
Media yang dipilih
hendaknya menunjang pencapaian tujuan pembelajaran.
2.
Ketepatgunaan
Hendaknya dipilih
ketepatan dan kegunaannya untuk menyampaikan pesan yang hendak dikomunikasikan/
diinformasikan
3.
Tingkat kemampuan siswa/peserta didik
Media yang dipilih
hendaknya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa/peserta didik, pendekatan
terhadap pokok masalah, besar kecilnya kelompok atau jangkauan penggunaan media
tersebut.
4.
Biaya
Biaya yang
dikeluarkan hendaknya seimbang dengan hasil yang diharapkan dan tergantung
kemampuan dana yang tersedia.
5.
Ketersediaan
Apakah media yang
diperlukan tersedia atau tidak, apakah ada pengganti yang relevan, direncanakan
untuk perorangan atau kelompok.
6.
Mutu teknis
Kualitas media
harus dipertimbangkan, jika media sudah rusak atau kurang jelas/terganggu
sehingga mengganggu proses transfer informasi (tidak menarik, detail kurang
bisa dipahami).
E. PRINSIP
PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN
Ada beberapa prisip
yang perlu dipertimbangkan pengajar dalam memilih dan menggunakan media
pembelajaran, yaitu:
1.
Kesesuain dengan
tujuan
Tidak ada suatu
media yang paling unggul untuk semua tujuan, suatu media hanya cocok untuk
tujuan pembelajaran tertentu, tetapi
mungkin tidak cocok untuk yang lain.
2.
Integral dalam pembelajaran
Hal ini berarti
bahwa media bukan hanya sekedar alat bantu mengajar pengajar saja, tetapi
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Penetapan
suatu media haruslah sesuai dengan komponen yang lain dalam perencanaan
intruksional. Tanpa alat bantu pembalajran mungkin pembalajaran dapat
berlangsung, tetapi tanpa media pembalajaran itu takkan terjadi.
3.
Alat bantu
Media apapun yang
berhak digunakan, sasaran akhirnya adalah untuk memudahkan belajar peserta
didik. Kemudahan belajar peserta didik haruslah dijadikan acuan utama dalam
pemilihan dan penggunaan suatu media.
4.
Memiliki tujuan
Penggunaan berbagai media dalam suatu pembalajaran bukan
hanya sekedar selingan/pengisi waktu atau hiburan, melainkan mempunyai tujuan
yang menyatu dengan pembelajaran yang sedang berlangsung.
5.
Objektif
Hal ini didasarkan pada tujuan pembelajaran, tidak
didasarkan pada kesenangan pribadi.
6.
Selektif
Penggunaan beberapa media sekaligus akan membingungkan peserta
didik. Penggunaan multi media tidak berarti media yang banyak sekaligus, tetapi
media tertentu dipilih untuk tujuan tertentu dan media yang lain untuk
tujuan yang lain pula.
Dengan melihat
pada realitas yang ditemukan pada proses pembelajaran tersebut, maka pencapaian
belajar secara efektif akan dicapai apabila:
1.
Mengenal keunggulan
dan kelemahan media
Penggunaan
teknologi auditif bukan berarti lebih buruk daripada media audiovisual, karena
ada beberapa materi pembelajaran yang akan lebih baik ditayangkan dengan mempergunakan
teknologi auditif untuk merangsang imajinasi siswa, dan melatih kepekaan
pendengaran.
2.
Menentukan
pilihan materi
Apakah materi yang
dibahas sesuai dengan penggunaan media auditif, visual, atau audiovisual.
Misalnya untuk melatih kepekaan siswa dalam memahami percakapan bahasa Inggris,
akan lebih baik kalau dipergunakan media auditif, sementara untuk mengetahui
ragam budaya masyarakat berbagai bangsa tentu lebih relevan dengan
mempergunakan tayangan audiovisual.
3.
Menyiapkan skenario tayangan
Hal
ini menyangkut model tayangan yang akan disajikan sehingga menjadi menarik,
serta mampu mengembangkan berbagai aspek
kemampuan (potensi) dalam diri siswa. Tidak kalah pentingnya, adalah
bagaimana membuat anak tetap fokus kepada tayangan yang disajikan, dan mengukur
apa yang telah dilakukan siswa.
4.
Menyiapkan lembar
tugas
Lembaran tugas yang dikerjakan siswa ketika menyaksikan tayangan pembelajaran
BAB III
AUDIO VISUAL
SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
DALAM
KATEKESE
A.
MELIHAT KEMBALI PERKEMBANGANKATEKESE DEWASA INI
1.
Katekese merupakan salah satu metode dan bentuk
pemberitaan Injil yang khas
Kekhasan tersebut terletak bahwa katekese menjadi karya
ampuh yang memuat segi pemahaman dan pengetahuan iman. Kekhasan tersebut tampak
melalui rumusan, bentuk dan metode katekese, serta isi pemahaman dan pengetahuan
iman itu sendiri dalam upaya membentuk pola-pola hidup kristen yang sejati.
Katekese mempunyai tujuan sebagai tahap pengajaran dan
pendewasaan. Tujuan ini memungkinkan seseorang dimekarkan menuju kepenuhan
Kristen. Melalui taraf pengetahuan ini seseorang diajak sampai kepada
penghayatan dan pengertian tentang misteri Kristus yang sejati.
2. Jembatan
antara pengalaman hidup dan visi kristiani
Dalam proses katekese dibutuhkan jembatan antara tradisi
iman dengan visi atau nilai kristianitas dalam situasi yang baru saat ini. Hal
itu membutuhkan hubungan yang bersifat timbal balik dan selaras antara apa yang
menjadi visi dengan kenyataan faktual yang dihadapi.
Dalam hubungan tersebut, pengalaman-pengalaman faktual
berhadapan dengan berbagai nilai, makna dan pengalaman manusiawi itu menjadi
muara bagaimana Gereja harus berbuat mengupayakan perjuangan visi Injil sebagai
sebuah warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat
ini. Warta tersebut diharapkan mampu menjadi bentuk penyadaran atau konsientisasi yang berdampak spiritual
baik secara perorangan maupun bersama.
Maka, agar warta Injil sungguh menyentuh dan berdampak
pada segi spiritual orang-orang di zaman sekarang, katekese harus senantiasa
mampu membuat jembatan antara nilai kristianitas dan pengalaman hidup itu.
Untuk itu, ketika orang-orang zaman sekarang telah dipengaruhi dengan gaya
hidup dan berbagai perkembangan teknologi modern, katekese hendaknya juga
memanfaatkan sarana-sarana dan metode-metode modern itu, agar secara efektif mampu
menyapa hidup orang di jaman sekarang.
B. ISI DAN
SUASANA KATEKESE MELALUI MEDIA AUDIO VISUAL
Dalam proses
katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu isi dan
suasana
1.
Isi katekese
Isi katekese
biasanya memuat pengalaman hidup peserta, Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dalam katekese terjadi dialektika dan proses edukatif serta konsientisasi
menyangkut visi dan pengetahuan iman, yang membawa nilai dan pesan moral bagi
peserta katekese. Melalui
proses ini pengalaman manusia menjadi sebuah pengalaman iman.
Isi katekese
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh suasana, baik faktor perkembangan
psikologis peserta katekese dan aspek-aspek eksternalnya, yaitu lingkungan,
sarana, pendekatan dan metodenya.
2.
Suasana Katekese
Suasana
akomodatif mampu menghantar isi kepada peserta katekese. Suasana tanpa isi akan
membuat proses katekese hanya sekedar ruang hiburan, tetapi isi tanpa suasana
akan membuat proses katekese bagaikan ruang ceramah yang membosankan dan sama
sekali tidak edukatif bagi segi afektifitas peserta katekese.
Untuk itu segi
isi dan suasana menjadi bagian yang tak terpisahkan. Isi haruslah berjalan
dengan suasana, begitupun suasana haruslah memuat isi yang membangun iman
peserta katekese.
Untuk membangun isi dan suasana katekese yang lebih
menyapa,
maka:
a)
pertama, proses
katekese harus mempertimbangkan segi himbauan pesan yang bersifat himbauan
emosional melalui berbagai media yang tepat dan mampu menyentuh cita rasa.
b)
kedua, proses
katekese harus menjadi proses komunikatif, dimana berbagai metode pendekatan
komunikasi digunakan. Katekese tidak hanya bersifat intruksional saja, tetapi
juga mempergunakan prinsip symbolic way
dimana
pengertian-pengertian didapat dari proses yang bersifat simbolis, baik dari
gambar, film, cerita, dan lain sebagainya.
B.
MEDIA AUDIO VISUAL DALAM KATEKESE
Salah satu media yang dapat digunakan agar katekese itu
menarik adalah media komunikasi popular
(selanjutnya disebut audio visual). Media
audio visual adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam proses
komunikasi yang metodologinya bersifat “dekat” dengan kehidupan dewasa ini,
misalnya: film, foto digital, poster, hasil download internet,
tampilan-tampilan presentasi dengan powerpoint dan flash player, music,
potongan artikel, potongan cergam-komik, dan lain-lain.
Untuk kepentingan katekese, media audio visual dalam
pelaksanaan hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:
a.
Pandangan hidup manusia jaman sekarang
Media
dapat menjadi jembatan antara pengalaman hidup dengan visi kristiani.
Media audio
visual ini dapat menjadi salah satu bantuan, agar jembatan untuk menghubungkan
pengalaman hidup orang zaman sekarang dengan visi kristianitas mampu terjadi.
Media audio
visual ini menjadi sarana supaya
terjadi proses sintesa antara media dan katekese yang sesuai dengan
perkembangan budaya serta tehnologi yang mempengaruhi umat berkaitan dengan
gaya hidup (life style) dan pandangan-pandangan hidup umat dewasa ini.
b.
Media audio visual ditempatkan dalam rancangan katekese
yang menarik dan kreatif.
Hal itu sangat
beralasan, karena:
-
Media sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan
sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi.
-
Bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati,
dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan.
-
Bahasa media lebih berpusat pada getaran hati.
-
Bahasa menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan
pada aneka kekayaan cita rasa. Segalanya seakan diciptakan kembali menjadi
sesuatu yang kreatif.
Media audio visual dapat digunakan dalam proses katekese,
baik sebagai apersepsi (pemusatan perhatian), narasi apresiatif dan
refleksi, peneguhan, rangkuman atau pengiring doa. Apresiasi ini merupakan kegiatan yang
memuat tiga unsur penting.
-
Pemahaman.
-
Memberikan pendapat dan tanggapan atau yang umum disebut
sebagai intrepetasi dan
-
Ungkapan/ekspresi yang representatif dan kaya akan makna (reflektif).
BAB IV
PENDEKATAN
DAN METODE
KATEKESE
AUDIO VISUAL
Membangun isi dan suasana katekese yang
menarik dan menyentuh melalui bahasa media komunikasi. Media audio visual dan performance art dapat digunakan dalam proses katekese,
misalnya dengan beberapa pendekatan metodologi sebagai berikut.
A. METODE
APRESIASI FILM
Metode ini mempergunakan sarana film sebagai obyek-media
yang dapat menjadi bahan analisa, diskusi dan refleksi. Namun juga dapat
dipergunakan sebagai pengantar atau peneguh kesimpulan, maupun sebagai ilustrasi
di dalam proses katekese. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya
adalah setiap film, mempunyai nilai-nilai yang perlu diperhatikan,.
Agar apresiasi menjadi lebih mempunyai nilai yang
reflektif, nilai-nilainya yaitu:
a.
Pernyataan moral
-
Pernyataan moral biasanya muncul melalui dialog-dialog
tokoh atau visualisasi kisah, baik secara langsung maupun yang bersifat hanya
tersurat.
-
Peryantaan moral ini biasanya terlihat dari alur plot
film, misalnya dari orang yang jahat yang berubah menjadi orang baik
(pertobatan), orang yang mengurbankan dirinya untuk menolong sahabat-sahabatnya
(pengurbanan).
b.
Cermin atau potret kehidupan
manusia
-
Dalam film termuat kisah kehidupan manusia, kisah yang
dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan.
-
Kisah dalam film dapat dijadikan sebagai media batin
betapa kehidupan memuat makna yang kaya.
-
Film-film pada umumnya memuat potret kehidupan manusia
adalah film yang berjenis biografi seseorang, atau film yang diangkat dari
kisah nyata.
-
Kisah film yang disajikan dapat menjadi sebuah pernyataan
tentang kehidupan, pernyataan tentang kebenaran, bagaimana manusia mencari dan
menjalani kehidupannya. Misalnya, bagaimana ketegaran hati seorang ibu,
perjuangan di kamp pengungsian, dan lain sebagainya.
c.
Cermin atau potret sifat manusia
-
Penokohan dalam film biasanya tergambarkan di dalam
penokohan antara yang baik dan yang jahat atau protagonis dan antagonis.
-
Kadang film menyuguhkan sebuah potret kelam manusia, atau
potret biografi kehidupan tertentu.
-
Potret tentang sifat manusia melalui penokohan film itu
dapat ditangkap tentang kebenaran-kebenaran umum bagaimana sifat manusia
menghadapi zaman dan kehidupannya.
-
Dari tutur kisah dalam film biasanya ditampakkan
bagaimana sang tokoh menghadapi masalah dan kemudian menyelesaikannya,
-
Biasanya sifat-sifat manusia terlihat/terwakili oleh sang
tokoh.
d.
Kritik sosial
-
Kritik social muncul melalui kisah, tokoh, setting tempat
dan alur sebuah film.
-
Kritik sosial ini biasanya tergambar melalui
tampilan-tampilan visual baik langsung (dalam film) maupun tidak langsung
ataupun di dalam dialog-dialog tokoh.
-
Kritik kadang dapat bersifat sangat lugas dan transparan,
namun kadang begitu halus dengan mempergunakan banyak lambang intrepetasi yang
beragam.
-
Biasanya di dalam mengangkat masalah-masalah sosial, film
lebih memberikan segi reflektif secara umum dan jarang sekali mengangkat akar
permasalahan.
-
Film lebih mengatakan dan menggambarkan bagaimana
pentingnya upaya pembaharuan dan perubahan sosial, tetapi jarang mengangkat
cara-cara perubahan sosial tersebut.
e.
Pertanyaan-pertanyaan filsafati
-
Tokoh dengan dialog dan alur kisahnya biasanya juga
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan filsafati kehidupan, yang akhirnya tidak
dijawab oleh tokoh cerita melainkan dijawab oleh para penikmatnya/audence sendiri.
-
Film mengantar penikmat/audence untuk bertanya tentang
kehidupannya.
-
Pertanyaan-pertanyaan filsafati muncul melalui alur cerita atau dialog tokoh,
dialektika antara kisah film dengan penikmatnya/audence melalui apa yang
disebut intrepetasi.
Dalam metode apresiasi film ini, ada beberapa cara yang
dapat dipergunakan untuk mengolah proses diskusi dan refleksi agar film
sungguh-sungguh bisa menjadi media atau sarana katekese yang bermakna, yaitu:
1.
SOTARAE
(Situasi,
Obyektif, Tema, Analisa-Ajaran, Rangkuman-Ajaran dan Evaluasi)
Secara praktis, langkahnya adalah sebagai berikut:
1.
Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta
proses serta film apa yang akan didalami.
2.
Menayangkan film; film
hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat
berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka
pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya.
3.
Menggali kesan spontan dari apa yang
sudah dilihat.
4.
Menggali secara obyektif tentang apa
yang sudah dilihat. Dalam hal ini menggali secara lahir/eksplisit, misalnya
plot filmnya, setting filmnya, tokohnya, dan lain sebagainya. Maka dalam rangka
ini, pendamping sebelumnya sudah mempunyai referensi cukup yang melatar
belakangi film yang sedang didiskusikan.
5.
Menggali tema atau inti dari apa yang
telah dilihat. Dalam hal ini mencoba menangkap dari apa yang implisit tersaji.
6.
MengAnalisa dari apa yang dilihat. Alternatif analisa dapat sebagai
berikut; yaitu memberikan pertanyaan pancingan untuk didiskusikan. Pertanyaan
untuk diskusi tidak terbatas pada pertanyaan praktis saja melainkan sampai
kepada pertanyaan refleksi kritis. Kemudian analisa ini dikembangkan
dan dihubungkan atau disentesakan dengan visi Kristiani.
7.
Merangkum segala apa
yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga dibuat dalam bentuk rekomendasi
point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak lanjut secara kongkrit.
Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal yang menyangkut visi
Kristiani.
8.
Merencanakan sebuah aksi bersama yang
bertujuan sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini dan dari hasil pendalaman
suatu dokumen.
2. ORID
(Obyektif,
Reflektif, Intepretatif dan Dicecion) [1]
Secara
praktis, langkahnya adalah sebagai berikut:
1).
Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta
proses serta film apa yang akan didalami.
2).
Menayangkan film; film
hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat
berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka
pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya.
3).
Menggali secara obyektif tentang apa
yang sudah dilihat. Mengeksplorasi fakta, data, atas film, misalnya, peristiwa
apa yang terjadi, apa yang dilakukan tokohnya dll. Pertanyaan yang diajukan
pada tahap ini, yaitu pertanyaan APA ; apa yang dialami, apa yang dilihat dll.
4).
Menggali secara reflektif dari apa yang telah dilihat. Mengeksplorasi respon dari
peserta atas fakta, data dari film.
Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, MENGAPA, bagaimana perasaan/kesan
mengenai film yang telah diamati.
5).
Menggali secara intepretatif. Menggali pemikiran kritis peserta atas fakta atau topik
yang dibahas. Pertanyaan yang diajukan
kepada peserta pada tahap ini, BAGAIMANA, terkait dengan pemikiran kritis atas
topik yang dibahas.
6).
Merangkum segala apa yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga
dibuat dalam bentuk point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak
lanjut secara kongkrit. Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal
yang menyangkut visi Kristiani.
7).
Merencanakan sebuah aksi bersama. Mengajak – menawarkan kepada peserta untuk mengambil
peran dalam pengambilan kesimpulan atas topik yang dibahas dan bagaimana
merumuskan bentuk kegiatan yang terkait dengan tidak lanjut atas proses yang
telah dilakukan. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta pada tahap ini, apa
yang dapat DILAKUKAN.
Dengan kelebihan dan kekurangannya, metode ORID lebih
sederhana daripada SOTARAE. Kedua metode diatas dapat digunakan untuk saling
melengkapi dan memperkaya temuan proses refleksi. Intinya, kedua metode diatas mempunyai
tujuan yang sama, yaitu menggali lebih dalam dokumen film sebagai sarana
katekese. Metode diatas dapat juga diproses untuk model apresiasi terhadap
dokumen lain, misalnya cergam, poster, foto, artikel dan lain sebagainya. Baik
juga, jika proses diskusi dapat divariasi dengan beberapa model-model sebagai
berikut:
1.
Diskusi kelompok dadakan (buzz group), yaitu
sejenis diskusi kelompok kecil yang beranggotakan 3-4 orang dan langsung
dibentuk untuk memperdalam materi.
2.
Diskusi kelompok sindikat (syndicate group),
yaitu sejenis diskusi kelompok 3 – 7 orang di mana setiap kelompok mengerjakan
suatu penggalian materi, kemudian hasil penggalian materi didiskusikan secara
pleno.
3.
Sumbang pendapat (brainstorming), yaitu sering
disebut sebagai inventarisasi gagasan. Kegiatan ini merupakan kegiatan curah
gagasan secara spontan berhubungan dengan bidang minat atau kebutuhan kelompok
untuk mencapai suatu kesimpulan.
4.
Diskusi terarah, yaitu suatu pola kegiatan diskusi dimana
setiap peserta diberi waktu untuk mengemukakan pendapatnya.
5.
Diskusi meja bundar, yaitu diskusi saling mengemukakan
pendapat secara berurutan melingkar.
6.
Dialog berganda, yaitu peserta diberi waktu untuk
bertukar pikiran secara berpasangan. Setelah itu, mereka diminta untuk berkumpul
lagi dalam kelompok umum.
7.
Diskusi parlementer, yaitu diskusi dimana terdapat dua
kelompok besar yang sudah mempunyai pendapat yang saling bertentangan yaitu
kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang, dalam hal ini
pendapat-pendapat pribadi dikesampingkan. Diskusi ini memerlukan moderator
untuk mengatur jalannya proses. Diskusi ini juga dibentuk kelompok ketiga untuk
membuat rangkuman.
8.
Diskusi akuarium, yaitu diskusi yang terbagi atas dua
kelompok, dimana masing-masing kelompok mempunyai peran sebagai kelompok
diskusi dan kelompok pengamat, dan kemudian dua kelompok ini akan bertukar
peran.
B. METODE
BAHASA FOTO
Foto merupakan salah satu media yang dapat digunakan
untuk penyadaran (konsientisasi). Melalui foto, ada kisah dan peristiwa yang terajut
utuh bagi setiap pikiran dan setiap keprihatinan. Foto menghadirkan kembali
kenangan akan peristiwa, yang tentu saja mempunyai nilai jika didiskusikan dan
direfleksikan. Upaya yang bersifat teknis dan pemilihan obyek, dengan kuatnya
telah dirajut oleh kesadaran seorang fotografer untuk membidik sebuah peristiwa
agar hadir di ruang-ruang setiap orang yang melihatnya.
Foto mempunyai bahasa yang luas dan kuat untuk menyentuh
perasaan, misalnya bagaimana menghadirkan sebuah pemaknaan akan kesadaran ekologis
melalui foto. Hal itu seperti apa yang telah terjadi di tahun 1970-an, seorang
fotografer W. Eugene Smith mampu menunjukan kepada publik mengenai upaya
perjuangan lingkungan hidup melalui foto kasus pencemaran lingkungan, yang
dikenal dengan Minamata. Melalui karya itu, dipaparkan betapa ruang foto, mampu
menjadi medan dialog reflektif bagaimana realisasi gamblang dari rusaknya
hubungan antara manusia dan kemajuan yang diinginkannya. Foto mampu berdampak
provokatif mengurai batas-batas kesadaran kritis.
Agar proses katekese dengan mempergunakan bahasa foto ini
menjadi menarik dan mempunyai makna yang mendalam, ada salah satu metode yang
dapat dipergunakan, yaitu dengan metode Mass Room Project (Proyek
Ruang Publik).
Mass Room
Project lebih dikenal dikalangan komunitas seni media. Biasanya,
Mass Room Project digunakan untuk mengamati ruang publik yang
“ditangkap” melalui sarana media seperti photo-camera dan camera shooting,
yang dipadu dengan sebuah kajian sosial, baik bersifat antropologis maupun sosiologis
yang kemudian diberi sentuhan seni. Kajian yang dilakukan, biasanya berkisar
pada ruang-ruang publik perkotaan, dari pasar, jalan raya, mall, halte
bis, perkampungan urban, tempat nongkrong, rambu-rambu lalu lintas, terminal
dan lain sebagainya, yang terpenting ada segi ruang publik yang dihadirkan.
Metode yang dilakukan, biasanya sangat variatif dan
kreatif, mengingat adanya unsur seni media didalamnya. Biasanya suatu obyek
ruang publik diamati dan dibidik dengan peralatan media baik photo-camera dan camera
shooting, dengan suatu ketentuan tertentu.
·
Pertama, dapat
bersifat bergerak, baik linear, maupun spiral, ataupun bersifat sentrifugal
maupun sentripetal,
·
Kedua, dapat
bersifat stagnan (diam), dengan suatu durasi waktu yang digunakan, baik detik,
menit, jam, hari maupun sampai bulan, bahkan tahunan, ataupun obyektifikasi
yang bersifat masif.
Untuk kepentingan katekese, Mass Room Project
dapat diproses sebagai berikut:
a.
Sebelum melakukan hunting ke obyek yang dipilih,
peserta perlu diajak diskusi untuk menentukan tema dan cara pengambilan
fotonya. Tema dan cara pengambilan foto yang dipilih akan mempengaruhi jenis
dan tempat obyeknya, dan bagaimana proses yang akan dilakukan, baik yang
bergerak maupun yang stagnan ataupun yang bersifat obyektifikasi.
b.
Setelah tema ditentukan, begitu juga tempat dan
dinamikanya, barulah hunting ke obyek yang dikehendaki.
c.
Berdasarkan obyek yang dipilih, obyek dapat “direkam”
mempergunakan foto-digital sesuai dengan yang telah ditentukan menurut pola
yang telah disiapkan.
d.
Setelah foto obyek didapatkan, foto tersebut dapat diolah
hasilnya berdasarkan selera dan tema yang sudah ditetapkan.
e.
Hasil data tersebut dapat dikemas, baik dalam bentuk
pameran foto, esai foto, perfomance art, ataupun pem-visualan yang lainnya. Hasil
yang sudah dikemas itu bisa digunakan untuk media awal analisa.
f.
Foto yang telah dihasilkan itu, dapat direfleksikan dan
didiskusikan dengan metode SOTARAE atau ORID.
C. METODE
BAHASA GAMBAR
Media gambar mempunyai daya pikat tersendiri ketika
dijadikan sarana katekese. Sebab, melalui gambar, baik dalam bentuk poster,
cergam, karikatur, ataupun lukisan, ada sentuhan yang dapat mengajak peserta
semakin memperdalam maksud gambar yang disajikan, baik maksud untuk memperkuat
isi-memberi peneguhan, merefleksikan, ataupun sampai memperbandingkan.
Misalnya, gambar karikatur, kata karikatur berasal dari
bahasa Latin dan Italia caricare yang berarti “memuat beban atau bobot
(makna)”. Kata tersebut memberi makna lebih kepada kata caricatura, yang
berarti gambar yang membawa parodi mengenai kehidupan, sehingga gambar itu
dapat ditertawakan. Gambar karikatur jika diperdalam dapat bersifat mengguggah,
lucu, menyindir dan cerdas (lateral thingking Sifatnya yang
menyindir dan cerdas itu dapat digunakan sebagai media katekese.
Media gambar ini dalam proses katekese dapat dilakukan
dengan:
a.
Divisualisasikan
artinya gambar
(poster, lukisan, karikatur, dll), digunakan untuk memvisualkan tema atau
gagasan yang ingin didalami atau dipelajari, sarana atau media bantu penjelasan
bagi fasilitator/pendamping atau media yang digunakan untuk diskusi, diamati,
dan didalami-direfleksi bersama (apresiasiatif).
b.
Dinarasikan
artinya gambar
(poster, lukisan, karikatur dll) sebagai media untuk bercerita (storytelling).
Gambar yang disajikan, membantu memberikan “suasana” dan pusat perhatian bagi
peserta. Cerita memang sangat kuat untuk
membawakan argumen moral publik yang berhubungan dengan pertanyaan dasar
tentang baik dan buruk, hidup dan mati, gagasan-gagasan mengenai kepribadian,
dan bagaimana manusia menghayati hidup ini.
c.
Mempergunakan bahasa gambar melalui papan tulis.
Fasilitator/pendamping membuat gambar-gambar sederhana untuk memperkuat suasana
cerita. Bahasa gambar dengan papan tulis ini memang membutuhkan ketrampilan
tersendiri, karena fasilitator/pendamping harus mampu membuat bahasa gambar itu
dengan disajikan kepada peserta dengan cepat namun menarik.
d.
Media gambar ini dapat juga direfleksikan dan
didiskusikan dengan metode SOTARAE atau ORID.
Berbagai metode diatas merupakan pelengkap atau pendukung
bagi proses katekese. Jangan sampai, metode-metode dengan media audio visual
tersebut menjadi dominan daripada gagasan serta materi pemahaman iman dalam
proses katekese. Jangan sampai karena berbagai pengembangan kreatifitas melalui
media audio visual tersebut, peserta katekese kurang menemukan makna imannya.
Seharusnya peserta semakin dikembangkan pemahaman imannya dengan dukungan atau
bantuan media-media komunikasi tersebut.
Hal yang
penting diperhatikan:
1.
Kesuaian
Fasilitator/pendamping
mampu menempatkan segi alokasi waktu, porsi, dan kesesuaian antara
metode-pendekatan dan media komunikasi audio visual yang digunakan bagi proses
katekese.
2.
Alat-alat pendukung
Jika media
komunikasi audio visual ini dipergunakan untuk proses katekese,
fasilitator/pendamping hendaknya mempersiapkannya dengan sebaiknya. Film, foto,
gambar dan lain sebagainya membutuhkan alat pendukung seperti TV, VCD-DVD
player, dan tempat yang memadai.
3.
Mendukung tujuan
Begitu juga, media
audio visual ini perlu dipilih dan diseleksi sehingga mampu mendukung isi
pemahaman iman yang akan diproses, baik ditujukkan untuk peneguhan atau
diperdalam atau sebagai pengantar-ilustrasi.
Demikianlah beberapa gagasan dan pengalaman konkrit mengenai kekuatan audio
visual dalam pewartaan iman. Harus dikatakan bahwa bahwa “the power of
imagination” itu memang nyata. Film atau audio visual adalah cara kontemporer
untuk menangkap pewahyuan timbal balik antara Tuhan dan manus
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Agung, A. A. G. (2003).
Pengantar Evaluasi Pendidikan.
Singaraja: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Negeri Singaraja.
2.
Alex Supartono. Minamata,
tentang Sebuah Foto. Kompas, Minggu, 1 Agustus 2004, hlm 17.
4.
Ilham Cendekia. (2002). Tehnologi Partisipasi. Jakarta: Pattiro.
5.
Joseph M. Boggs.(1986). Cara Menilai Sebuah Film (terjemahan dari The Art of Watching
Film oleh Asrul Sani). Jakarta: Yayasan Citra,
6.
Komkat KWI. (1997). Model-model Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
7.
Mangunhardjana, A
Mardija. (1976). Mengenal Film.
Yogyakarta: Kanisius.
8.
Manuel Olivera.(1989). Group
Media. Yogyakarta: Kanisius.
9.
Y.I. Iswarahadi, SJ, (2006). Kekuatan Audio Visual dalam Pewartaan. Makalah Pertemuan
Komkat Regio Jawa th. 2007, Wisma Micericordia Malang.
10.
Y.I. Iswarahadi, SJ (2003). Beriman dengan Bermedia. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar